Download kitab pdf terlengkap AswajaPedia Klik di sini

Seputar kitab uqudul lujain, membahas tentang rumah tangga bahagia


            Syekh Nawawi Banten, mungkin hampir tidak ada dari kita masyarakat pesantren yang tidak mengenal namanya. Karya-karya tulisnya tetap eksist tak terkikis dimakan waktu, dan hingga kini masih menjadi acuan dan barometer penting berlevel internasional. Ulama' yang bernama lengkap Muhammad bin Umar Nawawi bin 'Arobi bin Ali al-Jawi ini patut kita banggakan, karena beliau ikut membawa tenar nama Indonesia khususnya pulau Jawa. Dengan keluasan ilmunya beliau bisa dibilang ulama' nomer wahid di zamannya, sehingga ulama'-ulama' yang hidup sezaman dengan beliau memberi julukan "Gurunya para guru tanah Hijaz", tentu saja ini tidak berlebihan, sebab ulama'-ulama' besar di masa itu berguru kepada beliau.

            Syekh Nawawi sangat peka terhadap perkembangan perilaku masyarakat, mampu mencermati situasi serta apa yang terjadi di masyarakat saat itu, termasuk juga masalah seluk beluk pernikahan. Mengenai kitab ini, salah satu motivasi beliau menulisnya adalah keresahan beliau terhadap realita yang terjadi pada permasalahan suami istri yang lambat laun ternyata hanya segelintir orang saja yang masih memperhatikan dan mentaati aturan-aturannya, baik mengenai hak-hak suami, istri, kewajiban mereka, maupun apa saja yang harus mereka jauhi di dalam hubungan suami istri

            Kebanyakan pasutri (pasangan suami istri) dan remaja-remaja yang memasuki masa puber semakin enggan mematuhi norma-norma agama. Mereka hanya asyik bersenang-senang serta hanya memenuhi kebutuhan biologis dan mengabaikan aturannya, perkembangan zaman juga seakan memberi kebebasan kepada kaum wanita yang menyebabkan menjadi lumrahnya wanita-wanita berkeliaran di luar rumah, ironisnya mereka memakai pakaian yang seperti telanjang, hal ini seperti yang beliau kemukakan di Penutup Kitab. Dan mungkin sebagian besar pasutri hanya mengetahui dan mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah saja, seperti kewajiban mengurusi surat nikah atau aturan perceraian yang memang disediakan buku khusus oleh Departemen Agama. Padahal tidak semua aturan yang sesuai dengan syari'at dicantumkan oleh pemerintah, bahkan masih banyak masalah-masalah pelik yang harus diketahui oleh pasutri. Apalagi ini menyangkut kiat-kiat membina rumah-tangga yang rukun dan sakinah yang benar-benar sesuai dengan aturan al-Qur'an dan al-Sunnah yang sudah menjadi harga mati. Akan lebih baiknya jika kita menjadikan buku yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai perbandingan saja.

            Selain yang telah disebutkan di atas, adalah dorongan dari sahabat-sahabat beliau (atau lebih tepatnya murid-murid beliau) yang meminta untuk menjelaskan dan menguraikan kitab kecil yang berisi aturan-aturan berumah tangga serta hal-hal yang berhubungan dengannya. Syekh Nawawi pun kemudian mengabulkannya, dan kitab syarh ini rampung pada hari Ahad, 27 Muharrom tahun 1294 Hijriyah dengan nama Syarh Uqud al-Lujain (untaian mutiara).

            Ulama' kelahiran Banten ini membagi kitab syarhnya menjadi empat pasal dan ditambah penutup kitab (sebagaimana beliau rangkum di muqoddimah kitab). Pasal pertama membahas tentang kewajiban-kewajiban suami terhadap istri. Dalam pasal ini beliau memerinci apa saja hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami sesuai urutan dalam kitab matan-nya, di antaranya suami harus memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh melakukan kekerasan terhadap istri sebelum benar-benar mencapai tahapannya, dan sabar menghadapi istri yang berperangai buruk. Beliau menjelaskan Allah menjanjikan pahala yang berlimpah bagi suami yang sabar dan tidak berlaku keras terhadap istri yang tidak memenuhi hak-haknya, di sini juga mengutip kalam al-Habib Abdulloh al-Haddad "Laki-laki yang sempurna agamanya adalah laki-laki yang menyepelehkan haknya sebagai suami, tetapi sama sekali tidak menyepelehkan hak-hak Tuhannya, dan laki-laki yang tidak sempurna agamanya adalah sebaliknya".

            Secara tidak langsung Syekh Nawawi melalui pasal ini telah menepis anggapan orang-orang yang imannya lemah atau yang lebih sering kita dengar dengan istilah kaum feminim. Anggapan bahwa Islam memberikan kepada suami di dalam rumah-tangga kekuasaan penuh sehingga dapat leluasa melakukan berbagai bentuk tindak kekerasan dan tindasan adalah keliru dan sangat mendiskreditkan agama Islam. Pasal ini secara tegas menyebutkan kewajiban suami memperlakukan istri dengan lemah lembut, disertai ancaman-ancaman terhadap suami sebagai pemimpin rumah tangga jika berlaku semena-mena kepada istrinya.

            Dengan cukup berimbang, pasal kedua membahas kewajiban-kewajiban istri kepada suami. Dan memang sudah semestinya, ketika ada hak maka harus ada kewajiban, dan ketika seorang pemimpin telah mematuhi aturan yang harus dijalaninya, maka rakyat yang dalam hal ini adalah istri haruslah taat kepadanya. Beliau menekankan seorang istri harus menjaga dirinya, yakni aurotnya dari pandangan orang yang bukan mahromnya, hartanya, harta suaminya, serta jangan sampai terjerumus pada perzinahan. Juga masalah yang sekarang seperti mewabah, yaitu keluarnya istri tanpa izin ataupun tanpa sepengetahuan suaminya. Beliau mengulasnya dengan cukup rinci.

            Pasal ketiga beliau menampilkan hadits-hadits Nabi yang menerangkan keutamaan sholat di dalam rumah bagi orang perempuan, bahkan dibanding sholat di masjid bersama Rasulullah SAW sebagaimana beliau cantumkan pada judul pasal. Satu contoh adalah hadits Nabi ketika ada seorang perempuan yang menghampiri beliau dan menyatakan bahwa ia sangat suka sholat bersama beliau, Nabi lalu berkata kepadanya "Aku tahu kamu sangat suka sholat bersamaku, padahal sholatmu di bait-mu (bait: ruang khusus yang berada di dalam kamar) lebih utama daripada sholatmu di kamarmu, dan sholatmu di kamarmu lebih utama daripada sholatmu di rumahmu, dan sholatmu di rumahmu lebih utama daripada sholatmu di masjidku ini".

Selain beberapa hadits, beliau juga mengemukakan alasan-alasan yang mendukung tentang keutamaan tersebut dengan gaya bahasa yang padat dan tidak bertele-tele.

            Adapun pasal terakhir mengangkat tema tentang haramnya laki-laki melihat perempuan dan sebaliknya. Beliau di sini menjelaskan beberapa hukum dengan perincian antara lain; hukum laki-laki melihat perempuan yang bukan mahromnya dan sebaliknya, batasan aurot perempuan dengan mahromnya, budak dengan majikannya,hukum melihat perempuan ketika ada hajat (seperti melakukan transaksi atau ingin meminang), serta hukum melihat aurot ketika diperlukan untuk proses pengobatan, walaupun sebagiannya beliau ringkas di muqoddimah.

Sangatlah tepat kitab ini menyajikan tema tersebut, apalagi bagi zaman sekarang yang serba terbalik. Mungkin sebagian kita menganggap bahwa hukum-hukum yang telalu ketat seputar pergaulan akan menghambat kemajuan perempuan dalam berkarya. Namun apakah kita akan terus membiarkan perempuan mengumbar aurot mereka dengan semaunya, yang sehingga terbukti ini telah menjadi semacam candu yang sangat ampuh untuk merusak mental generasi muda. Kita tentu masih ingat aksi demo massa menolak RUU Anti Pornografi Dan Porno-aksi yang terjadi ketika pemerintah akan mengesahkannya. Ini adalah bukti bahwa masyarakat sudah terlalu sayang untuk meninggalkan kebebasan yang terlanjur sudah menjadi kebiasaan mereka yang mereka anggap benar dengan dalih "Hak Asasi Manusia".

            Selain menambahkan hadits-hadits yang tidak disebutkan oleh kitab aslinya, Syekh Nawawi juga banyak mengutip ujar-ujar maupun penjelasan dari ulama'-ulama' terkemuka, seperti Syekh Muhammad al-Mishri, Syekh Abu al-Laitsi al-Samarqondi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam al-Ghozali, disamping beliau juga menukil kalam-kalam sahabat dan tabi'ien.

            Yang membuat kitab syarh ini semakin menarik untuk kita baca, di sini memuat banyak cerita teladan yang bisa kita ambil hikmahnya. Misalnya saja, dikisahkan di dalam penutup kitab, seorang laki-laki pandai besi yang tangannya tidak terbakar api berkat do'a dari tetangganya seorang wanita cantik yang wara' yang pernah ia beri makan. Serta masih banyak lagi kisah-kisah menarik lainnya di sini.

            Sebagai penutup, mengingat begitu pentingnya meluruskan kembali berbagai pemahaman kita terhadap permasalahan pernikahan dan pergaulan yang cenderung menjauh dari syari'at Islam, maka kitab syarh Uqud al-Lujain hadir demi menjawab tantangan tersebut.

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.