Hukuman yang diberikan kepada anak dalam pendidikan, karena kesalahan yang dilakukannya ada dalam bentuk yang bermacam-macam. Tidak kesemuanya patut dan dapat digunakan dalam mendidik seorang anak. Berikut kami paparkan beberapa bentuk hukuman tersebut, dan mana saja yang patut dihindari, agar tidak memberikan efek negatif dalam mendidik seorang anak.
Beberapa Teori Hukuman
- Teori hukuman alam.
- Teori hukuman balas dendam.
- Teori hukuman ganti rugi.
- Teori hukuman menakut-nakuti.
- Teori hukuman memperbaiki.[1]
Teori hukuman alam
Teori hukuman alam tersebut mempunyai pandangan bahwa hukuman buatan itu tidak perlu diadakan seperti hukuman yang diberikan secara sengaja oleh seseorang kepada orang lain yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, tetapi hendaknya anak dibiarkan berbuat salah atau pelanggaran biar alam sendiri yang akan menghukumnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya.[2]
Pandangan teori hukum alam ini menyatakan bahwa hukuman alam tersebut merupakan hukuman yang wajar dan logis sebab merupakan akibat dari perbuatannya sendiri.
Seperti anak yang senam memanjat pohon adalah wajar dan logis, apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini merupakan hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatannya sering memanjat pohon. Dengan pengalamannya tersebut anak merasa akibatnya dan akan belajar sendiri dengan pengalamannya.
Teori Hukuman balas dendam
Dalam hal ini biasanya diterapkan karena si anak pernah mengecewakan seperti si anak pernah mengejek atau menjatuhkan harga diri guru disekolah atau pada pandangan masyarakat dan sebagainya.[3]
Memperhatikan pendapat diatas maka hukuman ini adalah hukuman yang paling jahat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam dunia pendidikan.
Hal ini terjadi mungkin pendidik kecewa baik kekecewaan itu karena orang lain yang akibatnya siswa kena sasaran hukuman atau oleh karena siswa sendiri. Sehingga pendidik mencari kesempatan kapan ia dapat menghukum atau membalas terhadap siswa tersebut, baik hukuman itu secar langsung kepada siswa atau tidak.
Dalam hal ini nampaklah teori ini kurang tepat dengan ilmu mendidik bila seorang guru sampai menggunakan hukuman dengan teori balas dendam tersebut, namun demikian bila memang terpaksa seorang pendidik menggunakan teori balas dendam juga tidak ada salahnya, asal masih dalam garis kepentingan demi tercapainya tujuan pendidikan bukan karena kepentingan pribadi.
Teori Hukuman ganti rugi
Menurut teori inio siswa yang melakukan kesalahan diminta untuk bertanggung jawab atau menggung resiko dari perbuatannya.[4]
Sebagai akibat ia harus mengganti atau menanggung resiko dari perbuatannya misalnya, siswa yang berkejar-kejaran dikelas kemudian memecahkan kaca jendela itu.
Kebaikan dari teori ini adalah :
- Siswa diajar disiplin dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
- Dapat menimbulkan perasaan jara, sehingga siswa dapat berhati-hati untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Sedangkan dampak negatifnya, teori ini adalah :
- Bagi siswa yang mampu tidak ada kesan terhadap hukuman yang diterima tersebut.
- Bagi siswa yang tidak mampu terasa berat sekali.
Teori Hukuman menakut-nakuti
Menurut teori ini hukuman diberikan untuk menakut-nakuti anak , agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini nilai didik telah ada, namun perlu diingat oleh para pendidik jangan sampai anak itu berbuat kesalahan lagi, hanya rasa takut saja. Melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena boleh jadi anak akan tunduk hanya dilandasi takut saja kepada pendidik, maka jika tidak ada pendidik kemungkinan besar sekali ia akan mengulangi perbuatannya. Ia akan melakukan perbuatannya secara sembunyi, jika terjadi demikian maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dan hukuma itu sangat minim sekali.
Teori Hukuman Memperbaiki
Menurut teori ini hukuman diberikan untuk memperbaiki siswa yang berbuat salah dengan harapan agar selanjutnya tidak melakukan kesalahan lagi atau insaf atas kesalahannya, insaf yang timbul dari kesadaran hatinya, sehingga tidak ingin mengulangi lagi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Hamalih “ Penyadaran atas hal-hal yang menyebabkan kegagalan ini perlu sekali dengan maksud agar dengan usaha sendiri ( Self Direction ), kita dapat mengatasinya dan memperbaikinya.[5]
Agar siswa insaf, maka pendidik harus memberikan penjelasan diwaktu menjatuhkan hukuman dalam hal apa mereka salah dan apa akibat dari perbuatannya itu. Dengan demikian siswa akan memahami segala tingkah laku dan akibat dari perbuatannya. Hal semacam ini akan membawa siswa pada kematangan berfikir dan kedewasaan.
Dengan uraian diatas berarti hukuman tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara pedagogis apabila :
- Hukuman tersebut dapat menginsafkan siswa atas perbuatannya yang salah.
- Siswa mempunyai pengertian tentang akibat perbuatan yang baik dan buruk.
- Berjanji dalam hatinya untuk tidak mengulangi atau berjanji untuk memperbaiki kesalahannya dan akan melakukan hal-hal yang baik.
Karena hal-hal yang demikianlah hukuman yang bersifat memperbaiki sering disebut hukuman pedagogis. Jadi hukuman itu dapat diterapkan dalam pendidikan terutama hukuman yang bersifat pedagogis, menghukum bila perlu jangan terus-menerus dan hindarilah hukuman jasmani.
[1] Amir Daein Indrakusuma, Opcit, hal 1-18
[2] Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, Hal 58
[3] Drs.H. Abu Ahmadi, Ilmu pendidikan, Rineka cipta, Jakarta,1991,Hal 154
[4] Amir Dalen Indrakusuma, Opcit, hal 149
[5] Umar Hamalik, Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar, Tarsito, Bandung, 1990, Hal 130