Anak adalah aset generasi mendatang yang sangat berharga. Bisa dikatakan bahwa baik buruknya hari depan sebuah bangsa ditentukan oleh tangan-tangan pengembannya. Dalam hal ini ditangan anaklah tergenggan masa depan umat. Wajar bila setiap manusia dewasa yang menyadari masalah ini mempersiapkan strategi pendidikan yang baik untuk anak-anak. Tidak hanya itu, proses tumbuh kembang pun sangat diperhatikan dalam rangka mengarahkan dan membimbing mereka menuju tujuan yang diinginkan. Maka perhatian terhadap hak-hak anak menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan cita-cita ini, yaitu membentuk generasi masa depan yang berkualitas.
Mengenai hak anak, secara umum berbagai negara saat ini berpegang pada apa yang telah digariskan oleh PBB. Diantaranya yang telah disebutkan dalam piagam PBB (Universal Declaration of Human Rights) adalah mengenai hak asasi anak yang dirinci sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, berdasarkan perkembangan fisik dan mentalnya. Hak anak-anak ini terutama adalah hak memperoleh air susu ibu, kasih sayang orang tua dan orang dewasa dalam segala bentuk disamping hak untuk bermain dengan atau tanpa menggunakan alat main yang bukan saja harus aman secara fisik dan biologis, tetapi juga psikologisnya (Republika, 10/12/94).
Bagi kaum muslimin, mereka tentu saja harus memperhatikan bagaimana Islam memecahkan persoalan anak ini. Islam telah menetapkan syariat yang sempurna tentang anak-anak, sejak ia dilahirkan, bahkan sebelum dilahirkan ke dunia dan sebelum diletakkan ke dalam rahim ibu. Hak-hak ini menyangkut pengasuhan, perhatian, etika dan pendidikan. Hak-hak ini harus dipenuhi oleh setiap orang yang memegang tanggung jawab, baik keluarga, masyarakat maupun negara (Al Mainawi, 1996).
Allah SWT telah berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 233, artinya kurang lebih demikian:
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
Demikian juga firman Allah dalam QS At Tahrim ayat 6, artinya kurang lebih demikian:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Dalam hadist, menurut kesaksian Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap bayi dilahirkan berdasarkan fitrahnya, lalu kedua orangtuannya yang (dapat) menjadikannya seorang yahudi atau seorang nasrani atau seorang majusi.” (THR. Muslim)
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
Demikian juga firman Allah dalam QS At Tahrim ayat 6, artinya kurang lebih demikian:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Dalam hadist, menurut kesaksian Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap bayi dilahirkan berdasarkan fitrahnya, lalu kedua orangtuannya yang (dapat) menjadikannya seorang yahudi atau seorang nasrani atau seorang majusi.” (THR. Muslim)
Seruan Islam ini menunjukkan betapa pentingnya umat Islam memperhatikan hak-hak anak, terutama dalam rangka menunaikan kewajiban menuju kehidupan mulia yang penuh ridla Allah SWT. Namun persoalannya saat ini, benarkah umat Islam telah mampu memenuhi kewajiban tersebut ? Sementara begitu banyak permasalahan anak, yang dalam banyak kasus makhluk-makhluk mungil ini hanya menjadi korban. Tentu sangatlah penting bagi kita memperhatikan dunia anak-anak. Menuntun tangan-tangan mereka, menyelamatkan dari berbagai hal yang membahayakan dan mengancam jiwa mereka.
Anak itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Daslam kehidupannya, anak membutuhkan interaksi dengan yang lainnya. Interaksi ini terjadi dengan orang tua dan saudara-saudaranya (keluarga) ataupun interaksi dengan kawan-kawan, serta segala hal yang ia temui di luar rumah (masyarakat). Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh karena itu memahami masalah-masalah dalam lingkungan dimana kita dan anak-anak berada, menjadi salah satu cara untuk mengerti persoalan-persoalan anak agar kita bisa mengupayakan pemecahannya.
Masih adakah hak anak dalam Lingkungan Keluarga ?
Lingkungan keluarga menjadi tempat awal bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Sejak anak berada dalam rahim ibu, dilahirkan, masa penyusuan, pengasuhan sampai ia tamyiz, lingkungan keluarga memiliki peran yang besar. Beberapa hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak anak dalam lingkungan ini antara lain :
a. Persoalan-persoalan antara orang tua yang menyebabkan kelalaian terpenuhinya hak anak.
Anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari keluarganya (orang tuanya). Cekcok antara ayah dan ibu seringkali membawa dampak buruk pada anak. Anak yang seharusnya mendapat kasih sayang dan pendidikan harus mengalami masa yang kritis untuk berpisah dengan ayah dan ibunya. Pada usia balita, anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orang tuanya seringkali pemurung, labil dan tidak percaya diri. Ketika menjelang usia remaja kadang-kadang mereka mengambil jalan pintas, dan minggat dari rumah dan menjadi anak jalanan. Ketenangan yang ia rindukan berubah suram. Pendidikan yang semestinya ia dapatkan menjadi hilang.
Di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak Pria Tangerang, sejumlah 61 anak telah berbuat kejahatan dengan latar belakang keluarga yang broken home. Tercatat 91 % dari anak-anak itu telah menjadi perampok dan pemerkosa. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh broken home pada perkembangan anak.
b. Salah faham orang tua terhadap target pendidikan
Kini tak jarang dijumpai orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak produktif versi materialisme. Anak harus terpatok oleh jam disiplin orang tua. Hal ini biasanya berbuntut rasa tertekan yang dialami oleh anak. Seperti yang terjadi pada Nn, anak kelas V SD swasta di Jakarta Selatan, selepas kegiatan belajar di sekolah hanya ada waktu satu jam untuk makan dan ganti baju. Pukul 14.00 ia harus segera mengikuti kursus/les yang diwajibkan oleh orang tuanya. Sang ibu membantah jika kesibukan anak merupakan ambisinya. Menurut ibu tersebut akan jadi apa dia nanti kalau enggak seperti itu, sementara tahun 2000 adalah tahun politik pasar bebas (Republika, 23/7/95). Ternya ta yang mendasari para orang tua untuk memperlakukan anak demikian, adalah globalisasi dunia yang makin mendepak kehidupan manusia. Adanya politik pasar bebas ternyata cukup menghantui keluarga ibu
Pakar pendidikan Prof. Dr. Utami Munandar berpendapat bahwa menjejalai anak dengan beragam les dengan dalih untuk masa depan tak bisa dibenarkan. Anak mempunyai hak untuk bermain. Menurutnya kurikulumlah yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak. Sehingga les tak diperlukan bila kurikulum pendidikan telah baik (Republika, 23/7/95). Dengan demikia njelaslah bahwa kurikulum pendidikan tidak berisi transfer informasi belaka. Pada masa pendidikan anak sampai menjelang baligh (terutama masa sebelum tamyiz), pribadi anak harus dibentuk terutama oleh orang tua. Tidak hanya pembentukan pola fikirnya namun juga kejiwaan anak.
c. Kurangnya interaksi orang tua dengan anak
Kesibukkanorang uta yang berlebihan, terutama ibu, menyebabkan anak kehilangan perhatian. Seorang ibu yang berkarir di luar rumah misalnya dan karirnya banyak menghabiskan waktu, lebih banyak menghadapi masalah kekurangan interaksi ini. Bisa dibayangkan, bila dalam sehari ibu hanya punya waktu paling banyak 2 – 3 jam bertemu dengan anak. Anak lebih dekat dengan pengasuh atau pembantunya. Apa yang bisa ditargetkan ibu dalam pengasuhan serta pendidikan anak di lingkungan keluarga ini ? Apalagi dalam hal informasi, anak-anak disuguhi dengan materi-materi televisi yang kurang atau bahkan tidak lagi memperhatikan aspek negatif pada anak-anak. Pada faktanya televisi tidak mampu menjadi orang tua yang baik, karena acara-acara yang ditayangkan tidak semuanya baik. Dr. Seto Mulyadi (lebih dikenal dengan sebutan Kak Seto), seorang psikolog mengungkapkan : “Masih ada film anak-anak yang kurang mendidik dan terkesan merangsang anak melakukan tindakan destruktif yang diputar di stasiun televisi di Indonesia.” ” (Republika, 3/5/95)
Seorang ibu yang tidak memperhatikan apa yang terjadi pada diri anak, atau dalam hal ini tidak menjalin interaksi dengan anak, akan sulit mengontrol informasi-informasi yang masuk pada diri anak.
Kurangnya interaksi orang tua dengan anak ini menyebabkan pula anak kehilangan peran orang tua. Dr. Alwi Dahlan (Republika, 3/5/95) mengatakan bahwa sekitar 50 – 60 juta anak Indonesia dibesarkan oleh televisi yang mengusik pikiran. Nilai-nilai masyarakat Amerika masih mewarnai acara televisi masuk ke bilik keluarga. Sampai-sampai Alwi mengatakan : “ Jangan-jangan anak sekarang bukan anak bapak atau ibunya tetapi anak Mc Gyver “.
Hal lain yang merupakan akibat dari kurangnya interaksi orang tua dengan anak adalah kurangnya pengetahuan dan perhatian terhadap hak-hak anak. Akhirnya kebutuhan anak dalam arti hak-hak mereka tidak terpenuhi.
d. Eksploitasi anak dalam ekonomi keluarga
Pada kelompok masyarakat marginal (pinggiran), keterdesakan ekonomi keluarga seringkali menyebabkan anak menjadi korban. Hal ini sering kali disebabkan oleh ketidakfahaman orang tua terhadap tanggung jawab mereka untuk memenuhi hak-hak anak. Atau memang kondisi ekonomi keluarga benar-benar sulit. Maka hak anak untuk mendapatkan jaminan nafkah tidak terpenuhi. Timbul pula gejala mempekerjakan anak. Anak terpaksa putus sekolah karena tidak bisa membayar SPP. Mereka pun turut membanting tulang untuk mencari nafkah. Seperti yang dialami Tuti (9 th) dan Udin (11 th), putra dari Wasmi, mereka harus ikut membantu ibunya demi memperoleh pengganjal perut. Saat ini masih ada ratusan bahkan ribuan keluarga seperti Wasmi. Para orang tua yang terpaksa harus lebih cepat membuat anak memikul beban ekonomi secara mandiri. Alasan ekonomi sulit ini yang membuat bocah-bocah seperti Tuti dan Udin harus membuang keceriaan masa permainan, masa pendidikan, masa kasih sayang dan kemanjaan serta ketergantungannya. Mereka terpaksa harus mandiri agar bisda tetap hidup di ibu kota yang keras ini. Biasanya kelompok anak jalanan melakukan aktivitas jalanan _mencari penghasilan_ rata-rata delapan jam sehari. Bagi mereka aktivitas sekolah masuk urutan kesekian. Mereka mengatakan tak punya waktu untuk sekolah, di samping alasan ekonomi. Menurut penelitian LIPI, 33 % anak-anak jalanan turun karena keinginan sendiri; 20,3 % dipengaruhi oleh teman ; 13 % disuruh orang lain atau orang tuanya. Namun faktor kemiskinan (ekonomi sulit) tetap merupakan pendorong utama (80,3 %), disamping adanya hambatan hubungan dengan orang tua (19,7 %) (Republika , 26/4/96).
Masih Adakah Hak Anak di luar Rumahnya ?
Kecenderungan perubahan di banyak negara yang mengarah kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi (termasuk Indonesia) akan mengakibatkan tidak terjaminnya tumbuh kembang anak sesuai dengan kondisi. Sebab dalam kondisi seperti ini masalah perilaku sosial anak sering atau banyak terabaikan. Akhirnya anak berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan.
Seorang anak pada usia tamyiz, minimal 2 tahun, telah mampu menyerap informasi yang berada di luar lingkungan rumahnya, sekalipun untuk usia yang masih sangat kecil ini peran orang tua lebih mendominasi. Fenomena kehidupan yang ada di lingkungan mampu merangsang tumbuh kembang anak ke arah yang lebih baik atau merusaknya dari tabiatnya yang murni dan bersih. Dalam proses ini tanggung jawab membimbing dan mengarahkan tumbuh kembang anak tidak hanya terlimpah pada orang tua. Memang, sebagai orang tua sekaligus wali, mereka tentu harus bertanggung jawab penuh pada anak sampai anak dewasa. Namun ternyata dalam pelaksanaan peran ini ada faktor-faktor di luar rumah yang berpengaruh pada anak. Perlu kiranya orang tua mencermati faktor-faktor ini, demikian pula berbagai pihak yang berkait pihak yang terkait dengan masalah ini, yaitu masyarakat dan negara. Beberapa faktor ini adalah :
(a) Tidak adanya kesempatan bersekolah pada anak
Saat ini kita dapat menjumpai banyak anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal. Sekalipun pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan peraturan tentang Wajar 9 th (wajib belajar 9 th), namun seringkali kondisi ekonomi keluarga tidak mengizinkan sang anak untuk menginjakkan kaki di bangku sekolah. Semakin hari biaya sekolah semakin mahal. Bagi keluarga papan bawah dan kelompok anak-anak jalanan, menuntut ilmu di sekolah hanyalah mimpi. Realita yang mereka hadapi menuntut kehidupan yang keras untuk mendapatkan sekedar makanan pengisi perut.
(b) Anak bersekolah dengan kurikulum yang sarat beban
Kelemahan kurikulum yang ada saat ini antara lain; substansi kurikulum yang dirasakan terlalu sarat. Materi pelajaran yang diberikan terlalu banyak bila dibandingkan dengan alokasi waktu yang tersedia. Untuk kurikulum yang berlaku sekarang, dirasakan bahwa struktur dan metode pengoperasiannya belum dapat mewujudkan terwujudnya ketiga ranah pendidikan secara proposional. Umumnya hanya aspek kognitif yang menonjol sedangkan aspek afektif dan psikomotorik kurang terjangkau. Di samping itu dirasakan ada ‘kekurangsinambungan’ antar jenjang pendidikan, khususnya antara kurikulum Sekolah Dasar dengan Sekolah Lanjutan Pertama. Sebaliknya dalam satu jenjang pendidikan terjadi tumpang tindih materi untuk materi beberapa mata pelajaran.
(c) Kekurangan tempat dan sarana bermain
Industrialisasi semakin melebarkan sayap, namun tanpa kendali sehingga hak anak untuk bermain di luar rumahnya pun terampas. Lahan luas yang semestinya menjadi tempat bermain bagi anak, kini berubah menjadi bangunan beton yang menjulang dan mempersempit ruang gerak anak. Meskipun saat ini pembangunan tempat hiburan anak semakin diupayakan, akankah hal ini bisa diakses semua anak ? Karena para pengusaha taman hiburan masih memperhitungkan segi komersial.
(d) Orientasi ekonomi yang memperparah nasib pekerja anak
Semakin santernya arus globalisasi menuntut manusia untuk saling mengejar materi. Sistem yang ada tidak mampu lagi membendung faham-faham asing yang merusakkan umat. Gejala pekerja anak yang diakibatkan oleh sulitnya ekonomi keluarga ditanggapi dunia ekonomi dengan perhitungan materi. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 1992 menunjukkan sekitar 2,5 juta pekerja anak di Indonesia (kategori pekerja anak versi Sakernas adalah mereka yang berusia 10 – 14 tahun yang aktif secara ekonomi). Sedangkan berdasarkan data BPS tahun 1994 di Indonesia terdapat 1,9 juta anak yang secara ekonomi aktif (10 –14 th). Sebagian besar (70 %) berada di sektor pertanian. Namun data ini dinilai banyak kalangan sebagai estimasi konservativ (terlalu sederhana dan terlalu global) serta mengecilkan persoalan buruh anak.
Faktor ekonomi (kemiskinan) merupakan faktor yang paling dominan menyebabkan munculnya masalah pekerja anak. Dirjen Pembinaan dan Pengawas Ketenagakerjaan Depnaker Suwarto mengemukakan bahwa selain kemiskinan, faktor lain yang menyebabkan anak-anak harus bekerja adalah kurangnya kesadaran orang tua dan masyarakat terhadap pentingnya lapangan kerja bagi anak. Demikian pula menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Azwar Anas menyatakan bahwa penyebab banyaknya anak yang terpaksa bekerja antara lain karena masalah kemiskinan. Penyelesaian masalah tenaga kerja anak, kini kian dipersulit dengan masalah waktu kerja yang panjang, upah yang rendah dan tempat kerja yang berbahaya(Media Indonesia, 25/796).
(e) Penanganan pemerintah terhadap anak jalanan
Saat ini kita masih menyaksikan fakta anak jalanan yang kian hari kian bertambah. Anak yang semestinya mendapat kasih sayang orang tua telah melangkah jauh menjadi anak jalanan. Bermacam-macam latar belakangnya. Diantaranya adalah faktor kemiskinan, akibat persoalan keluarga atau maksud tertentu (seperti yang ingin jadi jagoan, mabuk-mabukan, kriminal, dan lain-lain). Sebagaimana yang dialami Yanto (15 th) asal Madiun. Karena sering dimarahi sang ibu, akhirnya minggat dari rumah selama 11 tahun dan akhirnya terdampar di Jakarta. Cita-citanya menjadi tentara kandas di tengah jalan. Karena tak pernah mengenyam bangku sekolah lagi, akhirnya ia menjadi supir bus (Republika, 24/496).
Beberapa pihak dari kalangan swasta berusaha memecahkan persoalan anak jalanan ini dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus bagi anak terlantar. Sebagai contoh adalah sekolah yang didirikan oleh yayasan Cakra Indonesia bekerja sama dengan lembaga Humania. Dewasa ini sekolah tersebut menampung siswa sebanyak 20 anak yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Anak-anak ini dididik dan dalam kurun waktu tertentu diharapkan sudah memiliki bekal ketrampilan dan pandangan hidup optimis dibandingkan masa sebelumnya. Namun dalam penanganan ini, pihak pengelola pun menambahkan bahwa : “Dibanding jumlah anak terlantar di Indonesia yang berjumlah sekitar tiga juta, mungkin usaha yang kami lakukan belum seberapa. Karena itu kami akan senang bila ada pihak lain yang menempuh langkah seperti ini”. Tentu saja ini berarti penanganan anak jalanan diserahkan pada swasta, tanpa peran pemerintah.
Mengenai program anak jalanan ini Menteri Negara Kependudukan Haryono Suyono menyatakan bahwa yang harus ditolong adalah orang tuanya. “Kita pernah menolong anaknya, malah menyebabkan makin banyak anak yang turun ke jalan. Mereka merasa kalau turun ke jalan ‘kan nanti ditolong, “ ujarnya.
(f) Belum ada kesesuaian dan keterpaduan antar-kebijakan
Sampai saat ini belum ada keterpaduan antar berbagai kebijakan. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak, namun tak ada UU atau peraturan yang secara langsung melilndungi buruh anak di sektor informal (Media Indonesia, 23/7/96). Bahkan keterlibatan mereka di sektor ini (informal) cukup banyak. Mereka antara lain tukang sepatu, penjual koran, rokok, penjual jasa di pasar-pasar, pekerja bangunan (konstruksi dan lain-lain).
Contoh lain dalam penyelesaian persoalan buruh anak ini, Dirjen Binawas Depnaker Suwarto berpendapat bahwa penyelesaian ini seharusnya tidak hanya dilakukan oleh Depnaker saja, tapi perlu kebijakan yang menyeluruh dari berbagai pihak. “Dalam menghadapi masalah ini kita bagai dihadapkan pada lingkaran setan yang sulit diputuskan”, ungkapnya (Media Indonesia, 25/7/96).
Dalam bidang pendidikan, sekalipun negara menetapkan program wajib belajar, kenyataannya biaya sekolah semakin tinggi. Demikian pula dengan anjuran kepada orang tua untuk menjaga anak-anak mereka dari lingkungan yang merusak, sementara pada faktanya tontonan dilayar kaca semakin marak dengan pesan-pesan tak bermoral. Anak-anak kekurangan sarana belajar. Buku-buku bacaan yang mengandung unsur mendidik semakin terkalahkan oleh majalah atau komik yang bersifatkan imajinatif dan tidak mendidik.
Dalam upaya membimbing dan mengarahkan anak menjadi generasi yang mampu memikul beban kepemimpinan umat di masa depan, maka pemenuhan dan pemeliharaan hak-hak anak harus diperhatikan. Tidak hanya dalam bentuk perhatian, namun juga dalam bentuk kesadaran bahwa semua itu adalah tanggung jawab yang harus segera dilaksanakan. Lingkungan yang kondusif terhadap pemenuhan hak anak harus benar-benar terjamin. Tanggung jawab ini terbebankan pada orang tua (ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai manajer/ pengaturnya), masyarakat serta negara. Ayah memiliki peran penting agar sistem keluarga berjalan baik dan anggota-anggota keluarga mampu bekerja optimal. Pemimpin negara bertanggung jawab menciptakan sistem yang kondusif agar setiap keluarga mampu berperan optimal dalam pembinaan generasi. Masyarakat saling mengingatkan dan bermuhasabah agar senantiasa berjalan pada garis kebijakan yang benar dan tepat. Untuk itu diperlukan suatu rumusan sistem yang mampu memecahkan berbagai persoalan secara menyeluruh dengan penyelesaian yang terpadu. Bagi kaum muslimin, sistem apakah yang lebih baik selain dari Islam ?
Anak itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Daslam kehidupannya, anak membutuhkan interaksi dengan yang lainnya. Interaksi ini terjadi dengan orang tua dan saudara-saudaranya (keluarga) ataupun interaksi dengan kawan-kawan, serta segala hal yang ia temui di luar rumah (masyarakat). Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh karena itu memahami masalah-masalah dalam lingkungan dimana kita dan anak-anak berada, menjadi salah satu cara untuk mengerti persoalan-persoalan anak agar kita bisa mengupayakan pemecahannya.
Masih adakah hak anak dalam Lingkungan Keluarga ?
Lingkungan keluarga menjadi tempat awal bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Sejak anak berada dalam rahim ibu, dilahirkan, masa penyusuan, pengasuhan sampai ia tamyiz, lingkungan keluarga memiliki peran yang besar. Beberapa hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak anak dalam lingkungan ini antara lain :
a. Persoalan-persoalan antara orang tua yang menyebabkan kelalaian terpenuhinya hak anak.
Anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari keluarganya (orang tuanya). Cekcok antara ayah dan ibu seringkali membawa dampak buruk pada anak. Anak yang seharusnya mendapat kasih sayang dan pendidikan harus mengalami masa yang kritis untuk berpisah dengan ayah dan ibunya. Pada usia balita, anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orang tuanya seringkali pemurung, labil dan tidak percaya diri. Ketika menjelang usia remaja kadang-kadang mereka mengambil jalan pintas, dan minggat dari rumah dan menjadi anak jalanan. Ketenangan yang ia rindukan berubah suram. Pendidikan yang semestinya ia dapatkan menjadi hilang.
Di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak Pria Tangerang, sejumlah 61 anak telah berbuat kejahatan dengan latar belakang keluarga yang broken home. Tercatat 91 % dari anak-anak itu telah menjadi perampok dan pemerkosa. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh broken home pada perkembangan anak.
b. Salah faham orang tua terhadap target pendidikan
Kini tak jarang dijumpai orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak produktif versi materialisme. Anak harus terpatok oleh jam disiplin orang tua. Hal ini biasanya berbuntut rasa tertekan yang dialami oleh anak. Seperti yang terjadi pada Nn, anak kelas V SD swasta di Jakarta Selatan, selepas kegiatan belajar di sekolah hanya ada waktu satu jam untuk makan dan ganti baju. Pukul 14.00 ia harus segera mengikuti kursus/les yang diwajibkan oleh orang tuanya. Sang ibu membantah jika kesibukan anak merupakan ambisinya. Menurut ibu tersebut akan jadi apa dia nanti kalau enggak seperti itu, sementara tahun 2000 adalah tahun politik pasar bebas (Republika, 23/7/95). Ternya ta yang mendasari para orang tua untuk memperlakukan anak demikian, adalah globalisasi dunia yang makin mendepak kehidupan manusia. Adanya politik pasar bebas ternyata cukup menghantui keluarga ibu
Pakar pendidikan Prof. Dr. Utami Munandar berpendapat bahwa menjejalai anak dengan beragam les dengan dalih untuk masa depan tak bisa dibenarkan. Anak mempunyai hak untuk bermain. Menurutnya kurikulumlah yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak. Sehingga les tak diperlukan bila kurikulum pendidikan telah baik (Republika, 23/7/95). Dengan demikia njelaslah bahwa kurikulum pendidikan tidak berisi transfer informasi belaka. Pada masa pendidikan anak sampai menjelang baligh (terutama masa sebelum tamyiz), pribadi anak harus dibentuk terutama oleh orang tua. Tidak hanya pembentukan pola fikirnya namun juga kejiwaan anak.
c. Kurangnya interaksi orang tua dengan anak
Kesibukkanorang uta yang berlebihan, terutama ibu, menyebabkan anak kehilangan perhatian. Seorang ibu yang berkarir di luar rumah misalnya dan karirnya banyak menghabiskan waktu, lebih banyak menghadapi masalah kekurangan interaksi ini. Bisa dibayangkan, bila dalam sehari ibu hanya punya waktu paling banyak 2 – 3 jam bertemu dengan anak. Anak lebih dekat dengan pengasuh atau pembantunya. Apa yang bisa ditargetkan ibu dalam pengasuhan serta pendidikan anak di lingkungan keluarga ini ? Apalagi dalam hal informasi, anak-anak disuguhi dengan materi-materi televisi yang kurang atau bahkan tidak lagi memperhatikan aspek negatif pada anak-anak. Pada faktanya televisi tidak mampu menjadi orang tua yang baik, karena acara-acara yang ditayangkan tidak semuanya baik. Dr. Seto Mulyadi (lebih dikenal dengan sebutan Kak Seto), seorang psikolog mengungkapkan : “Masih ada film anak-anak yang kurang mendidik dan terkesan merangsang anak melakukan tindakan destruktif yang diputar di stasiun televisi di Indonesia.” ” (Republika, 3/5/95)
Seorang ibu yang tidak memperhatikan apa yang terjadi pada diri anak, atau dalam hal ini tidak menjalin interaksi dengan anak, akan sulit mengontrol informasi-informasi yang masuk pada diri anak.
Kurangnya interaksi orang tua dengan anak ini menyebabkan pula anak kehilangan peran orang tua. Dr. Alwi Dahlan (Republika, 3/5/95) mengatakan bahwa sekitar 50 – 60 juta anak Indonesia dibesarkan oleh televisi yang mengusik pikiran. Nilai-nilai masyarakat Amerika masih mewarnai acara televisi masuk ke bilik keluarga. Sampai-sampai Alwi mengatakan : “ Jangan-jangan anak sekarang bukan anak bapak atau ibunya tetapi anak Mc Gyver “.
Hal lain yang merupakan akibat dari kurangnya interaksi orang tua dengan anak adalah kurangnya pengetahuan dan perhatian terhadap hak-hak anak. Akhirnya kebutuhan anak dalam arti hak-hak mereka tidak terpenuhi.
d. Eksploitasi anak dalam ekonomi keluarga
Pada kelompok masyarakat marginal (pinggiran), keterdesakan ekonomi keluarga seringkali menyebabkan anak menjadi korban. Hal ini sering kali disebabkan oleh ketidakfahaman orang tua terhadap tanggung jawab mereka untuk memenuhi hak-hak anak. Atau memang kondisi ekonomi keluarga benar-benar sulit. Maka hak anak untuk mendapatkan jaminan nafkah tidak terpenuhi. Timbul pula gejala mempekerjakan anak. Anak terpaksa putus sekolah karena tidak bisa membayar SPP. Mereka pun turut membanting tulang untuk mencari nafkah. Seperti yang dialami Tuti (9 th) dan Udin (11 th), putra dari Wasmi, mereka harus ikut membantu ibunya demi memperoleh pengganjal perut. Saat ini masih ada ratusan bahkan ribuan keluarga seperti Wasmi. Para orang tua yang terpaksa harus lebih cepat membuat anak memikul beban ekonomi secara mandiri. Alasan ekonomi sulit ini yang membuat bocah-bocah seperti Tuti dan Udin harus membuang keceriaan masa permainan, masa pendidikan, masa kasih sayang dan kemanjaan serta ketergantungannya. Mereka terpaksa harus mandiri agar bisda tetap hidup di ibu kota yang keras ini. Biasanya kelompok anak jalanan melakukan aktivitas jalanan _mencari penghasilan_ rata-rata delapan jam sehari. Bagi mereka aktivitas sekolah masuk urutan kesekian. Mereka mengatakan tak punya waktu untuk sekolah, di samping alasan ekonomi. Menurut penelitian LIPI, 33 % anak-anak jalanan turun karena keinginan sendiri; 20,3 % dipengaruhi oleh teman ; 13 % disuruh orang lain atau orang tuanya. Namun faktor kemiskinan (ekonomi sulit) tetap merupakan pendorong utama (80,3 %), disamping adanya hambatan hubungan dengan orang tua (19,7 %) (Republika , 26/4/96).
Masih Adakah Hak Anak di luar Rumahnya ?
Kecenderungan perubahan di banyak negara yang mengarah kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi (termasuk Indonesia) akan mengakibatkan tidak terjaminnya tumbuh kembang anak sesuai dengan kondisi. Sebab dalam kondisi seperti ini masalah perilaku sosial anak sering atau banyak terabaikan. Akhirnya anak berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan.
Seorang anak pada usia tamyiz, minimal 2 tahun, telah mampu menyerap informasi yang berada di luar lingkungan rumahnya, sekalipun untuk usia yang masih sangat kecil ini peran orang tua lebih mendominasi. Fenomena kehidupan yang ada di lingkungan mampu merangsang tumbuh kembang anak ke arah yang lebih baik atau merusaknya dari tabiatnya yang murni dan bersih. Dalam proses ini tanggung jawab membimbing dan mengarahkan tumbuh kembang anak tidak hanya terlimpah pada orang tua. Memang, sebagai orang tua sekaligus wali, mereka tentu harus bertanggung jawab penuh pada anak sampai anak dewasa. Namun ternyata dalam pelaksanaan peran ini ada faktor-faktor di luar rumah yang berpengaruh pada anak. Perlu kiranya orang tua mencermati faktor-faktor ini, demikian pula berbagai pihak yang berkait pihak yang terkait dengan masalah ini, yaitu masyarakat dan negara. Beberapa faktor ini adalah :
(a) Tidak adanya kesempatan bersekolah pada anak
Saat ini kita dapat menjumpai banyak anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal. Sekalipun pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan peraturan tentang Wajar 9 th (wajib belajar 9 th), namun seringkali kondisi ekonomi keluarga tidak mengizinkan sang anak untuk menginjakkan kaki di bangku sekolah. Semakin hari biaya sekolah semakin mahal. Bagi keluarga papan bawah dan kelompok anak-anak jalanan, menuntut ilmu di sekolah hanyalah mimpi. Realita yang mereka hadapi menuntut kehidupan yang keras untuk mendapatkan sekedar makanan pengisi perut.
(b) Anak bersekolah dengan kurikulum yang sarat beban
Kelemahan kurikulum yang ada saat ini antara lain; substansi kurikulum yang dirasakan terlalu sarat. Materi pelajaran yang diberikan terlalu banyak bila dibandingkan dengan alokasi waktu yang tersedia. Untuk kurikulum yang berlaku sekarang, dirasakan bahwa struktur dan metode pengoperasiannya belum dapat mewujudkan terwujudnya ketiga ranah pendidikan secara proposional. Umumnya hanya aspek kognitif yang menonjol sedangkan aspek afektif dan psikomotorik kurang terjangkau. Di samping itu dirasakan ada ‘kekurangsinambungan’ antar jenjang pendidikan, khususnya antara kurikulum Sekolah Dasar dengan Sekolah Lanjutan Pertama. Sebaliknya dalam satu jenjang pendidikan terjadi tumpang tindih materi untuk materi beberapa mata pelajaran.
(c) Kekurangan tempat dan sarana bermain
Industrialisasi semakin melebarkan sayap, namun tanpa kendali sehingga hak anak untuk bermain di luar rumahnya pun terampas. Lahan luas yang semestinya menjadi tempat bermain bagi anak, kini berubah menjadi bangunan beton yang menjulang dan mempersempit ruang gerak anak. Meskipun saat ini pembangunan tempat hiburan anak semakin diupayakan, akankah hal ini bisa diakses semua anak ? Karena para pengusaha taman hiburan masih memperhitungkan segi komersial.
(d) Orientasi ekonomi yang memperparah nasib pekerja anak
Semakin santernya arus globalisasi menuntut manusia untuk saling mengejar materi. Sistem yang ada tidak mampu lagi membendung faham-faham asing yang merusakkan umat. Gejala pekerja anak yang diakibatkan oleh sulitnya ekonomi keluarga ditanggapi dunia ekonomi dengan perhitungan materi. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 1992 menunjukkan sekitar 2,5 juta pekerja anak di Indonesia (kategori pekerja anak versi Sakernas adalah mereka yang berusia 10 – 14 tahun yang aktif secara ekonomi). Sedangkan berdasarkan data BPS tahun 1994 di Indonesia terdapat 1,9 juta anak yang secara ekonomi aktif (10 –14 th). Sebagian besar (70 %) berada di sektor pertanian. Namun data ini dinilai banyak kalangan sebagai estimasi konservativ (terlalu sederhana dan terlalu global) serta mengecilkan persoalan buruh anak.
Faktor ekonomi (kemiskinan) merupakan faktor yang paling dominan menyebabkan munculnya masalah pekerja anak. Dirjen Pembinaan dan Pengawas Ketenagakerjaan Depnaker Suwarto mengemukakan bahwa selain kemiskinan, faktor lain yang menyebabkan anak-anak harus bekerja adalah kurangnya kesadaran orang tua dan masyarakat terhadap pentingnya lapangan kerja bagi anak. Demikian pula menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Azwar Anas menyatakan bahwa penyebab banyaknya anak yang terpaksa bekerja antara lain karena masalah kemiskinan. Penyelesaian masalah tenaga kerja anak, kini kian dipersulit dengan masalah waktu kerja yang panjang, upah yang rendah dan tempat kerja yang berbahaya(Media Indonesia, 25/796).
(e) Penanganan pemerintah terhadap anak jalanan
Saat ini kita masih menyaksikan fakta anak jalanan yang kian hari kian bertambah. Anak yang semestinya mendapat kasih sayang orang tua telah melangkah jauh menjadi anak jalanan. Bermacam-macam latar belakangnya. Diantaranya adalah faktor kemiskinan, akibat persoalan keluarga atau maksud tertentu (seperti yang ingin jadi jagoan, mabuk-mabukan, kriminal, dan lain-lain). Sebagaimana yang dialami Yanto (15 th) asal Madiun. Karena sering dimarahi sang ibu, akhirnya minggat dari rumah selama 11 tahun dan akhirnya terdampar di Jakarta. Cita-citanya menjadi tentara kandas di tengah jalan. Karena tak pernah mengenyam bangku sekolah lagi, akhirnya ia menjadi supir bus (Republika, 24/496).
Beberapa pihak dari kalangan swasta berusaha memecahkan persoalan anak jalanan ini dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus bagi anak terlantar. Sebagai contoh adalah sekolah yang didirikan oleh yayasan Cakra Indonesia bekerja sama dengan lembaga Humania. Dewasa ini sekolah tersebut menampung siswa sebanyak 20 anak yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Anak-anak ini dididik dan dalam kurun waktu tertentu diharapkan sudah memiliki bekal ketrampilan dan pandangan hidup optimis dibandingkan masa sebelumnya. Namun dalam penanganan ini, pihak pengelola pun menambahkan bahwa : “Dibanding jumlah anak terlantar di Indonesia yang berjumlah sekitar tiga juta, mungkin usaha yang kami lakukan belum seberapa. Karena itu kami akan senang bila ada pihak lain yang menempuh langkah seperti ini”. Tentu saja ini berarti penanganan anak jalanan diserahkan pada swasta, tanpa peran pemerintah.
Mengenai program anak jalanan ini Menteri Negara Kependudukan Haryono Suyono menyatakan bahwa yang harus ditolong adalah orang tuanya. “Kita pernah menolong anaknya, malah menyebabkan makin banyak anak yang turun ke jalan. Mereka merasa kalau turun ke jalan ‘kan nanti ditolong, “ ujarnya.
(f) Belum ada kesesuaian dan keterpaduan antar-kebijakan
Sampai saat ini belum ada keterpaduan antar berbagai kebijakan. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak, namun tak ada UU atau peraturan yang secara langsung melilndungi buruh anak di sektor informal (Media Indonesia, 23/7/96). Bahkan keterlibatan mereka di sektor ini (informal) cukup banyak. Mereka antara lain tukang sepatu, penjual koran, rokok, penjual jasa di pasar-pasar, pekerja bangunan (konstruksi dan lain-lain).
Contoh lain dalam penyelesaian persoalan buruh anak ini, Dirjen Binawas Depnaker Suwarto berpendapat bahwa penyelesaian ini seharusnya tidak hanya dilakukan oleh Depnaker saja, tapi perlu kebijakan yang menyeluruh dari berbagai pihak. “Dalam menghadapi masalah ini kita bagai dihadapkan pada lingkaran setan yang sulit diputuskan”, ungkapnya (Media Indonesia, 25/7/96).
Dalam bidang pendidikan, sekalipun negara menetapkan program wajib belajar, kenyataannya biaya sekolah semakin tinggi. Demikian pula dengan anjuran kepada orang tua untuk menjaga anak-anak mereka dari lingkungan yang merusak, sementara pada faktanya tontonan dilayar kaca semakin marak dengan pesan-pesan tak bermoral. Anak-anak kekurangan sarana belajar. Buku-buku bacaan yang mengandung unsur mendidik semakin terkalahkan oleh majalah atau komik yang bersifatkan imajinatif dan tidak mendidik.
Dalam upaya membimbing dan mengarahkan anak menjadi generasi yang mampu memikul beban kepemimpinan umat di masa depan, maka pemenuhan dan pemeliharaan hak-hak anak harus diperhatikan. Tidak hanya dalam bentuk perhatian, namun juga dalam bentuk kesadaran bahwa semua itu adalah tanggung jawab yang harus segera dilaksanakan. Lingkungan yang kondusif terhadap pemenuhan hak anak harus benar-benar terjamin. Tanggung jawab ini terbebankan pada orang tua (ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai manajer/ pengaturnya), masyarakat serta negara. Ayah memiliki peran penting agar sistem keluarga berjalan baik dan anggota-anggota keluarga mampu bekerja optimal. Pemimpin negara bertanggung jawab menciptakan sistem yang kondusif agar setiap keluarga mampu berperan optimal dalam pembinaan generasi. Masyarakat saling mengingatkan dan bermuhasabah agar senantiasa berjalan pada garis kebijakan yang benar dan tepat. Untuk itu diperlukan suatu rumusan sistem yang mampu memecahkan berbagai persoalan secara menyeluruh dengan penyelesaian yang terpadu. Bagi kaum muslimin, sistem apakah yang lebih baik selain dari Islam ?