Dikutip dari : https://www.facebook.com/notes/463967773674005/
-------------------------------------------------------------------------------
Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Syafi’i tentu merupakan madzhab yang paling banyak buku-buku fiqhnya. Dalam maktabah-maktabah, kemungkinan besar buku-buku madzab fiqh Syafi’i ini menghabiskan setengahnya bahkan lebih dari isi maktabah tersebut.
Banyaknya buku-buku ini, adalah berkat kejuhudan murid-murid dan ulama Syafi’iyyah. Juga karena buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini satu sama lain ditulis dengan saling mengacu pada kitab sebelumnya, sehingga berkaitan dan bersambung.
Buku pertama dalam madzhab Syafi’i adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w 150H) sendiri. Pada masa berikutnya, buku al-Umm ini diringkas oleh muridnya yang bernama Imam al-Muzani (w 264 H) dalam bukunya berjudul Mukhtashar al-Muzani. Tidak lama kemudian, buku Mukhtashar al-Muzani ini disyarah oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Selang beberapa lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh muridnya Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam bukunya al-Basith. Tidak puas dengan al-Basith, Imam Ghazali meringkasnya menjadi al-Wasith, kemudian al-Wasith diringkas juga dalam bukunya yang lain berjudul al-Wajiz dan terakhir, buku al-Wajiz ini diringkas lagi dalam bukunya al-Khulashah.
Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-Ghazali tadi menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, Imam Nawawi (w 676 H) meringkas buku al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian menjadi pegangan utama para ulama Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Kemudian, buku Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-Jauhari menjadi an-Nahj.
Imam ar-Rafi’i juga mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, dan asy-Syarh al-Kabir yang diberi nama dengan al-’Aziz. Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-Asna.
Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin Umar al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-’Ibab, kemudian Ibn Hajar al-Haitami mensyarahnya menjadi al-Ii’ab hanya saja tidak sampai akhir.
Imam Suyuthi (w 911 H) meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-Gunyah, dan mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-Khulashah, akan tetapi tidak sampai selesai.
Imam al-Qazuwaini meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i dalam karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya tidak disebutkan nama syarah ini).
Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad. Al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan buku-buku berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.
Tampak kesinambungan buku-buku fiqh madzhab Syafi’i ini antara satu dengan yang lainnya. Inilah yang menyebabkan buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini menjadi lebih banyak bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Hal ini juga menjadikan cara penempatan bab-bab fiqh dalam buku-buku fiqh Syafi’i menjadi hampir sama. Misal, pembagian bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm hampir sama penempatannya dengan buku Minhajut Thalibin atau syarahnya.
Berikut adalah urutan sejarah kitab-kitab madzhab Syafi’i. Dari sejarah perkembangan madzhab Syafi’i, kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i dicoba dibagi ke dalam tujuh kelompok.
Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:
1. Karya-karya Imam Syafi’i
2. Karya-karya Ulama Syafi’iyyah generasi pertama
3. Karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua
4. Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran
5. Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus
6. Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas
7. Karya-karya Madzhab Syafi’i belakangan
Berikut ini penjelasannya,
.
1. Karya-karya Imam Syafi’i .
Berikut ini karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika beliau berada di Mesir:
1. Kitab al-Umm
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila
3. Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud
4. Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i
5. Kitab Jima’il ‘Ilm
6. Kitab Bayan Faraidhillah
7. Kitab Shifati Nahyi Rasulillah
8. Kitab Ibthalil Istihsan
9. Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany
10. Kitab Siyaril Auzai.
Semua karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, telah ditahkik (diberi catatan kaki) dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan judul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i . Buku tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah beliau yang diajukan ke Jami’ah Islamiyyah di Karachi Pakistan.
Buku ini dicetak pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Menurut penulis asli artikel ini, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin Hasun ini adalah yang paling baik dan paling lengkap dalam segi tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya.
Untuk mengetahui dalil-dalil di dalam kitab al-Umm ini, ada kitab, yakni Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaqi. Kitab ini sangat berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Kadang-kadang dalam kitab al-Umm sendiri tidak disebutkan dalilnya, tapi langsung ke hukumnya. Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan.
.
2. Karya-karya Tokoh Ulama Syafi’iyyah generasi pertama setelah Imam Syafi’i
Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama di sini adalah untuk menyebut dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam Nawawi (631-676 H).
Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat penting, bahkan terpenting setelah karya-karya Imam Syafi’i. Ketika seseorang ingin mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i (bukan pendapat Imam Syafi’i ) tentang sebuah masalah, maka karya-karya dua imam ini dapat mewakilinya.
Di sini, apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak ada beda pendapat dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai madzhab Syafi’i.
Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, dan antara keduanya sama kuat, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi.
Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini diketengahkan karya-karya keduanya.
A. Karya-karya Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i
1) Kitab al-Muharrar. Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat, manuskrip dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum ditahkik dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut.
2) Kitab asy-Syarhus Shagir. Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam al-Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister Jami’ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.
3) Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Buku ini merupakan buku terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan panjang.
Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i.
Buku ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah pada tahun 1997.
B. Karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi mengarang banyak buku fiqh dalam Madzhab Syafi’i. Sementara buku-bukunya yang masih ada yang dipandang sangat penting, adalah:
1) Kitab Minhajut Thalibin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Muharrar karya Imam Rafi’i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang sangat penting bahkan terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab Syafi’i.
Umumnya, buku ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah Mughnil Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul Muhtaj karya Imam ar-Ramli.
2) Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Buku ini lebih tebal dari pada buku Minhajut Thalibin di atas.
3) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Buku ini merupakan buku terbesar dan terpenting dari karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Muhadzab karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling terkenal dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini sangat tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih.
Dalam buku ini Imam Nawawi bukan semata mengungkapkan pendapat Madzhab Syafi’i, akan tetapi juga membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang tentunya disertai dengan munaqasyah dan rad-rad tajam.
Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari Kitab al-Buyu’. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba melengkapinya, namun juga keburu meninggal. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja. Beberapa ulama lain yang melengkapi buku al-Majmu’ ini adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-Muthi’i (w 1406 H). Buku al-Majmu’ ini adalah buku terakhir Imam Nawawi.
Meski demikian, para ulama Syafi’iyyah berikutnya dalam menetapkan sebuah persoalan lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan Raudhatut Thalibin dari pada kepada al-Majmu’. Hal ini barangkali di antaranya disebabkan bahwa kitab al-Majmu’ ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas.
4) Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Buku ini dicetak beberapa kali cetakan dan oleh beberapa penerbit.
Ada yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar’isyli.
Bagaimana cara mentarjih antara aqwal dalam madzhab Syafi’i
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pendapat Imam Syafi’i (al-aqwal) terkadang lebih dari satu demikian juga dengan pendapat para ulama Syafi’iyyah generasi awal (al-aujuh). Untuk itu, dibutuhkan upaya tarjih di antara pendapat-pendapat tersebut.
Upaya untuk mentarjih aqwal tersebut telah dilakukan oleh dua Imam besar yakni Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Berikut penuturan Imam Nawawi dalam mukaddimah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, mengenai metode tarjih yang dipakainya apabila terjadi perbedaan di antara aqwal tersebut:
1. Pendapat Imam Syafi’i yang tidak bertentangan dengan dalil baik pendapat lama (al-qaul al-qadim) maupun pendapat baru (al-qaul al-jadid) adalah yang diambil sebagai pendapat Madzhab Syafi’i .
2. Qaul Jadid Imam Syafi’i dipandang sebagai Madzhab Syafi’i apabila secara terang-terangan bertentangan dengan qaul qadim. Namun, apabila qaul jaded tidak bertentangan dengan qaul qadim, atau tidak diketemukan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jaded, maka qaul qadim itulah yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i.
3. Apabila ada dua pendapat Imam Syafi’i yang sama baik dari segi baru, lama atau dalilnya, maka ambillah pendapat yang paling akhir dari kedua pendapat tersebut, apabila diketahui pendapat mana yang paling akhir.
Namun, apabila tidak diketahui pendapat yang paling akhir, maka ambil pendapat yang ditarjih sendiri oleh Imam Syafi’i .
4. Apabila pendapat-pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak diketahui mana yang murajjah dan mana yang murajjihnya, baik dari segi qadim jadidnya atau dari sisi tidak ada tarjih sama sekali dari Imam Syafi’i , maka harus dicari mana yang paling rajih dengan jalan disesuaikan dengan nash-nash dari Imam Syafi’i lainnya, metode dan kaidah pengambilan hukumnya serta ushul-ushul yang biasa dipakai oleh Imam Syafi’i .
.
3. Karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua
Dimaksudkan dengan karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua ini adalah masa munculnya dua Imam besar yakni Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H) dan Syamsud Din Muhammad ar-Ramli (w 1004 H).
Besarnya sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Berikut adalah karya kedua imam dimaksud,
1. Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj.
Buku ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-Haitami sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Buku ini dicetak beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah al-Allamah Ahmad bin Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul Hamid asy-Syarwany. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dengan muhaqiq Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau hemat penulis lebih bagus dan lebih lengkap.
2. Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj.
Buku ini juga merupakan syarah dari buku Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din ar-Ramly.
Buku ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni Hasyiyah al-Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan Hasyiyah al-Allamah Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby ar-Rasyidy (w 1096 H).
Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah buku yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.
Apabila ada persoalan yang tidak dibahas di kedua kitab itu, maka acuan diambil dari karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-Wardiyyah—kedua buku tersebut telah dicetak. Kemudian setelahnya adalah kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi’i, termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-Azhar fakultas Syariah Islamiyyah.
Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya adalah buku-buku hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya hawasyi yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari syarah Imam Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Syamsuddin ar-Ramli, ada perbedaan prioritas antara ulama Mesir dengan ulama Hijaj.
Menurut ulama Mesir, maka pendapat ar-Ramli yang harus didahulukan khususnya apa yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena buku tersebut telah disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh pengarangnya sendiri kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan buku tersebut dapat dikatakan mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari pada yang lainnya.
Sedangkan menurut ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus diambil manakala terjadi pertentangan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul Muhtaj. Hal ini dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-Haramain al-Juwaini.
Kedua kitab di atas dipandang telah mencukupi sebagai pegangan dalam madzab syafi’i. Ada dua alasan penting:
1. Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-Tuhfah dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya sebagai pegangan utama ketika mereka berfatwa.
Salah satunya adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi’i (w 1194 H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51).
2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Disamping karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi’i tidak diragukan lagi.
Namun tentu saja tetap lebih baik jika mengkaji pula kitab-kitab Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
.
4. Karya-karya fiqh perbandingan (al-fiqh al-muqaran)
Buku-buku yang membandingkan juga me-rad dan mentarjih buku-buku fiqh madzhab lainnya, pada masa lalu disebut dengan buku yang berbicara tentang ilmul khilaf atau dalam istilah sekarang, al-fiqh al-muqaran, fiqh perbandingan.
Kelebihan kitab ini adalah adanya perbandingan dengan madzab-madzab lain. Berikut ini buku-buku fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama madzhab Syafi’i,
a. Al-Hawi al-Kabir. Buku ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam Muzani. Buku ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang sangat panjang.
Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i, juga pendapat ashshab Imam Syafi’i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Buku ini pertama kali dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam 18 jilid besar dengan muhakkik Ali Muhammad Mu’awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud.
b. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Telah dibahas.
c. Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha. Buku ini ditulis oleh Imam Saifud Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H). Buku ini bukan merupakan syarah atau ringkasan dari buku-buku sebelumnya. Buku ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada tahun (cetakan pertama) 1988 yang terdiri dari delapan jilid besar-besar.
.
5. Buku-buku Fiqh Madzhab Syafi’i yang berbicara tentang bab-bab / tema-tema tertentu
Buku-buku ini adalah buku-buku madzhab Syafi’i akan tetapi hanya membahas tema-tema tertentu dan terbatas.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku bermadzhab Syafi’i yang membahas tema-tema tertentu.
1) Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah.
Buku ini dikarang oleh Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H).
Buku ini merupakan buku madzhab Syafi’i paling popular yang berbicara tentang siyasah syar’iyyah. Dalam menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam buku ini mencoba mengetengahkan dengan model perbandingan (muqaranah).
Buku ini terdiri dari dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang hokum khilafah, wizarah, wilayah al-madhalim, qadha, hokum-hukum yang berkaitan dengan fai, jizyah, kharaj dan lainnya.
2) Giyas al-Umam fit Tiyas adh-Dhulam.
Buku ini sering disingkat dengan nama al-Giyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang dipersembahkan untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Giyas ad-Daulah Nidham al-Mulk (w 485 H).
Buku ini hampir sama dengan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam Mawardi dari segi tema-tema yang dibahasnya, hanya saja buku ini lebih menekankan pada pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah dan kejadian-kejadian masa silam. Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit, di antaranya pernah dicetak oleh Kuliyyah Syari’ah Jami’ah Qatar.
3) Adabul Qadha.
Buku ini seringkali disebut juga dengan nama ad-Durar al-Munadhamat fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi Syihabuddin Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abid Dam al-Hamawi (w 642 H).
Buku ini merupakan buku terpenting dalam madzhab Syafi’i yang berbicara tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan dakwaan, bukti, saksi atau yang sering kita kenal sekarang dengan Ilmu Beracara di pengadilan. Buku ini pernah ditahkik oleh DR. Muhyiud Din Hilal Sarhan al-Iraqi untuk mengambil gelar duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari’ah dan dicetak di Beirut dalam dua jilid lumayan tebal.
4) Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara’id.
Buku ini ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Buku ini sesuai dengan namanya merupakan buku yang berbicara tentang hokum warits Islam bermadzhab Syafi’i. Dan buku ini, hemat penulis, merupakan buku yang sangat penting dalam mengkaji Ilmu Warits. Buku ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaemah Riyad, tahun 1420 H.
6. Buku-buku Madzhab Syafi’i yang tidak termasuk salah satu bagian dari lima kelompok sebelumnya
Buku-buku ini adalah buku-buku bermadzhab Syafi’i juga, hanya saja bukan termasuk atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi’i atau Imam al-Haitami dan Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf.
Buku-buku ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting buku-buku sebelumnya. Buku-buku yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian, yakni buku-buku yang dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua dan setelah generasi kedua.
Pertama, buku-buku yang dikarang sebelum masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (sekitar setelah wafatnya Imam Syafi’i sampai abad ke-10 Hijriyyah) adalah:
1. Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Buku ini dikarang oleh Imam Abu Ishak asy-Syairazi (w 476 H). Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit yang salah satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam jilid tebal-tebal dan ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.
2. Al-Wasith fil Madzhab. Buku ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H) yang merupakan ringkasan dari bukunya yang berjudul al-Basith dan al-Basith ini juga merupakan ringkasan dari buku karya Imam al-Haramain al-Juwaini yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu’un al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993 yang ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din al-Qurrah Dagi.
Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan fatwa sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah muncul dua imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya, karena dipandang lebih lengkap dan lebih mendalam.
3. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini juga dikarang oleh Imam Ghazali sebagai ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
4. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
5. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Buku ini juga merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul Kitab Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul Karim al-Badrany pada tahun 2001.
6. Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah al-Muhalla ‘Alal Minhaj.
Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan rujukan oleh para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang dua syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling kepada dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami.
Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah ini ditulis. Buku ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini beberapa kali dicetak dan yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar. Dicetak pertama kali pada tahun 1997.
Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (dari tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:
1. Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh al-Allamah Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-Jamal (w 1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab. Dan kitab Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj. Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal.
Buku ini dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.
2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Syarh at-Tahrir.
Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan kemudian buku tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir Tanqih al-Lubab maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi dalam empat jilid besar.
3. I’anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun kewafatannya). Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i . Syarah dari buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan keduanya merupakan karya al-Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H).
Buku I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali dan salah satunya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam empat jilid besar.
4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas yang ditulis oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w 1335 H). Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in karya al-Mullibary—penjelasan mengenai buku Fathul Mu’in ini lihat di nomor tiga. Buku ini dicetak oleh Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.
.
7. Karya-karya madzhab Syafi’i belakangan.
Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang buku-buku yang ditulis seputar fiqh Syafi’i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H. Buku-buku yang berbicara tentang madzhab Syafi’i pada abad belakangan ini akan penulis kemukakan, tentunya sepengetahuan penulis yang sangat sederhana.
Namun sebelumnya, perlu penulis kemukakan, bahwa buku-buku fiqh Syafi’i yang ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan susunanya mudah dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua, bahasan dan persoalan yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang tidak terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang perbudakan dan atau yang sejenisnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku yang termasuk kelompok terakhir, abad belakangan, masa kini, di antaranya:
1) Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj.
Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Hasan Ali Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang dalam penyusunannya berpegang kepada kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H). Buku ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah al-Ashriyyah Beirut dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.
2) Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i .
buku ini ditulis oleh tiga ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa Sa’id al-Khinn, DR. Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji. Buku ini selesai ditulis pada tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya oleh Darul Qalam Damasykus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga jilid.
3) Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi’iyyah.
Buku ini ditulis oleh Syaikh Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas umum al-Azhar asy-Syarif Mesir. Buku ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat Aliyah di Ma’had-ma’had al-Azhar. Buku ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari empat jilid ukuran kecil.
4) Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary an-Najib fi Shurah Sail wa Mujib.
Buku ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir saat ini yakni oleh DR. Nashr Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah Mesir sebelum Prof. DR. Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-Azhar dan DR. Abdul Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma’had I’dad ad-Du’ah di propinsi Qana, Mesir. Buku ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa siswi Tsanawiyyah (menengah) di seluruh ma’had al-Azhar. Buku ini dicetak oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari tiga jilid kecil.
.
Istilah-Istilah dalam madzhab Syafi’i iyah
Para ulama Syafi’iyyah dalam buku-bukunya seringkali menggunakan beberapa istilah khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab Syafi’i yang makna dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain.
Untuk mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat membacanya pada pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana terdapat petunjuk praktis untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di awal ini, misalnya anda dapat temukan dalam buku al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi.
Berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua buku fiqh Syafi’iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara istilah-istialah dimaksud adalah:
1. Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku Syafi’iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi’i, baik dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.
2. Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah ke Mesir baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah Imam az-Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda mendapatkan pendapat Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam Syafi’i (qaul qadim).
3. Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik berupa karya buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali meriwayatkan qaul jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi’ al-Muradi.
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat ulama Syafi’i yyah saja.
5. At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.
6. Al-Adhhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah satunya dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya. Pendapat Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar, sedangkan pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dhahir.
7. Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-gharib.
8. Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
9. Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’i yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha’if atau al-fasid.
10. Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-madzhab.
11. Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan kepada Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.
12. An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi’i. Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang bukan dari Imam Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.
13. Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .
.
Beberapa istilah ulama Syafi’i yyah
Dalam buku-buku Syafi’iyyah, selain istilah-istilah fiqh, juga seringkali didapatkan laqab bagi para ulamanya. Hal ini tentu dimaksudkan selain untuk memudahkan, juga untuk menunjukkan penghormatan dan kedudukan ulama tersebut di kalangan madzhab Syafi’i . Di antara istilah-istilah ulama Syafi’i yyah dimaksud adalah:
1. Al-Imam. Apabila didapatkan kata al-Imam, maka maksudnya adalah Imam Haramain al-Juwaini (w 478 H)
2. Al-Qadhi, maksudnya adalah al-Qadhi Husain (w 462 H)
3. Al-Qadiyain maksudnya adalah Imam ar-Ruwiyani (w 502 H) dan Al-Mawardi (w 450).
4. Ar-Rabi’, maksudnya adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, murid Imam Syafi’i (w 270 H).
5. Asy-Syarih al-Muhaqiq, maksudnya adalah Jalaluddin al-Mahally (w 864 H)
6. Asy-Syaikhaini, maksudnya adalah Imam an-Nawawi (w 676 H) dan Imam ar-Rafi’i (w 623 H)
7. Asy-Syuyukh, maksudnya adalah Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan Taqiyuddin as-Subuki (w 756)
8. Apabila al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H) dan Syamsuddin ar-Ramli (w 1004 H) dalam karya-karyanya mengatakan Syaikhul Islam, maka maksudnya adalah Imam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Namun, apabila al-Khatib asy-Syarbini berkata Syaikhii, maksudnya adalah Syihabuddin ar-Ramli (w 957)
9. Apabila Imam Nawawi dalam bukunya al-Majmu’ berkata al-Qaffal, maksudnya adalah Imam al-Maruzi (w 417 H).
10. Apabila dalam kitab al-Muhadzab disebutkan istilah Abu Hamid, maka maksudnya adalah dua orang ulama yakni al-Qadhi Abu Hamid al-Maruzi Ahmad bin Basyar bin Amir (w 362 H) dan asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayaini Ahmad bin Muhammad (w 406 H).
.
Buku-buku yang membahas istilah-istilah fiqh Syafi’i dan laqab, kunyah ulama Syafi’iyyah
Di antara buku-buku yang merupakan ma’ajim al-musthalahat al-fiqhiyyah dalam madzhab Syafi’i adalah:
1. Kitab Gharib al-Alfadz Allatis Ta’malaha al-Fuqaha karya asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad bin al-Azhar al-Hirawy Abi Mansur (w 370 H). Buku ini membahas maksud dari istilah-istilah sulit yang sering digunakan oleh para Fuqaha.
2. Tahdzib al-Asma wal Lughat, karya Imam Abu Zakariya Muhyiyud Din bin Syaraf an-Nawawi (w 676 H). Buku ini menjelaskan istilah-istilah fiqh Syafi’i yang terdapat dalam enam buku fiqh Madzhab Syafi’i yakni Mukhtashar al-Muzani, al-Muhadzab, at-Tanbih, al-Wasith, al-Wajiz dan ar-Raudhah.
3. Al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir lir-Rafi’i, karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi (w 770 H).
wallahu a'lam
semoga bermanfaat
Posts