Download kitab pdf terlengkap AswajaPedia Klik di sini

HUTANG MENQODHO PUASA BAGI PEKERJA KERAS.

KESIMPULAN  TEAM DHF

HUTANG MENQODHO PUASA BAGI PEKERJA KERAS.
=======================================

✅PERTANYAAN

Assalamualaikum ustad ustadzah, mau tanya bagaimana hukumnya org gk bza bayar utang puasanya sedangkan dia kerjanya berat2/kuli sekian trimakasih mohon penjelasan nya

✅JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Puasa memang wajib. Tetapi mencari nafkah juga wajib. Dan memang kewajiban puasa itu tidak bermaksud menghalangi manusia untuk mencari nafkah.

Tetapi adakalanya aktivitas mencari nafkah ini memerlukan tenaga besar dan kondisi fisik yang sip, karenanya untuk sejumlah orang pada profesi tertentu puasa mengurangi tenaga yang diperlukan.

Di samping pekerja berat, ada juga mereka yang sakit dengan pelbagai kondisinya saat Ramadhan tiba.

Ada di antara mereka yang sehat dan segar bugar, juga muda. Ada lagi yang sudah renta, ada yang terbaring sakit, ada lagi yang dalam perjalanan, juga mereka yang pekerjaannya membutuhkan tenaga ekstra.

✍Perihal orang yang kesehariannya bekerja agak berat, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan,

“Ketika memasuki Ramadhan, pekerja berat seperti buruh tani yang membantu penggarap saat panen dan pekerja berat lainnya, wajib memasang niat puasa di malam hari.

Kalau kemudian di siang hari menemukan kesulitan dalam puasanya, ia boleh berbuka (ifthor/membatalkan puasanya)

Tetapi kalau ia merasa kuat, maka ia wajib tidak membatalkannya.

Dalam kasus ini Tiada perbedaan antara buruh, orang kaya, atau sekadar pekerja berat yang bersifat relawan.

Dengan ketentuan tidak menemukan orang lain untuk menggantikan posisinya bekerja,

Dan  pekerjaan itu tidak  bisa dilakukannya pada malam hari.

Ataupun seandainya di kerjakan di malam hari akan berpengaruh atas hasil yg kurang maximal.

tetapi melanjutkan puasanya, maka puasanya tetap sah karena keharamannya terletak di luar masalah itu.

Penting....!!!!
kalau hanya sekadar sedikit pusing atau sakit ringan yang tidak mengkhawatirkan, dan tidak mengganggu atas kesehatan maka tidak ada pengaruhnya dalam hukum ini,”


Perihal status wajib puasa bagi pekerja, kita juga mendapat keterangan lain dari Syeh M Nawawi Al-Bantani.

Tetapi sebelum membahas pekerja, kita perlu membahas terlebih dahulu status wajib puasa orang sakit. Karena kondisi pekerja berat akan diukur dari keadaan orang sakit sejauhmana tingkat kesulitan yang dialami keduanya.

Keterangan ini bisa kita dapatkan dari Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in sebagai berikut.

Artian bebas dalam kitab tersebut:
“Ulama membagi tiga keadaan orang sakit.

✍ Pertama, kalau misalanya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa.

✍Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa.
Ia wajib membatalkan puasanya.

✍ Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah.

✍Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka,”


Dengan kata lain, bagaimanapun wajibnya mencari nafkah, kewajiban puasa Ramadhan perlu dihargai. Dalam artian, kita tetap memasang niat puasa di malam hari. Kalau memang di siang hari puasa terasa berat, kita yang berprofesi sebagai pekerja berat dibolehkan membatalkannya dan menggantinya di luar bulan puasa.

Uraian ulama tersebut menunjukkan betapa mulianya ibadah puasa Ramadhan kendati mereka yang udzur tetap mendapat keringanan untuk berbuka puasa.



Tolak ukur
Diperbolehkan tidak berpuasa wajib karena sakit, yaitu sakit yang membahayakan yang dapat menyebabkan diperbolehkan bertayammum, seperti orang kawatir sakitnya tidak segera sembuh sebab berpuasa, dan pergi sejauh jarak diperkenankan melaksanakan qoshor sholat, tidak pergi dekat atau pergi dalam kemaksiatan.

Adapun puasa musafir tanpa bahaya itu lebih baik dari pada tidak berpuasa.

Dan dengan berpuasa ia kawatir kepayahan berupa lapar dan dahaga meskipun ia adalah orang sehat sedang berada di rumah sendiri.

Imam Adzro’i memberikan fatwa bahwa orang tersebut wajib menjalankan niat berpuasa pada setiap malam harinya, kemudian orang-orang yang mempunyai tingkat keberatan yang sama.

Dan wajib mengqadla puasa-puasa yang ia tinggalkan selama bulan romadlon.

 
Wal_HASIL:

Diantara hal yang perlu diperhatikan bagi pekerja keras yang ingin ifthor/fithr (tidak berpuasa adalah sebagai berikut :

Niat berpuasa di setiap malam hari ramadlon

Menjalankan puasa sebagaimana biasanya, jika kemudian di tengah hari ia tidak kuat, dapat ifthor atau membatalkan puasa, sebab masing-masing orang mempunyai kekuatan berbeda, sedangkan waktunya adalah relatif.

Qodlo pada hari lain di luar romadlon

Qodlo tidak boleh melewati bulan romadlon berikutnya, jika melewati, ia wajib membayar fidyah 1 mud, begitupun berkelipatan jika ia menerjang romadlon-romadlon berikuktnya.

 

Mufthir (orang yang membatalkan puasa) di sini dikategorikan udzur sehingga waktu qodlo bebas dalam setahun.\

Namun bagi pekerja keras tetap di wajibkan ikhiyar utk meng qodlo sholat nya, tidak boleh lalai, krena beban qodlo tersebut tetap di bebankan selama ia masih hidup.

Ia juga wajib ikhTiyar mencari waktu senggang guna membayar hutang puasa tersebut.


⏩TAMBAHAN:

➡ tentang orang meninggal yang mempunyai tanggungan puasa, sebab Sakit, perjalanan atau uzur lainnya, dan tidak pernah menemukan kesempatan untuk mengqodhonya sampai mati.

ULAMA BERBEDA PENDAPAT:

✍MADZHAB SYAFIIYAH
Telah kami sebutkan bahwa madzhab kita, bahwa tak ada kewajiban apa-apa atasnya, tidak dipuasakan, tidak juga dibayarkan fidyah tanpa ada perselisihan antara kita (syafi'iyyah),

✍ demikian pula penapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Jumhur Ulama.

✍Imam Muhammad bin ‘Amr bin Ali bin Nawawi al-Jawi; Abu Abdul Mu’thi di dalam kitabnya (Nihayah al-Zain) menjelaskan bahwa orang mati dengan meninggalkan puasa Ramadhan, Nazar atau puasa Kafarot, sedangkan ia belum sempat menggantinya, seperti sakit yang ia derita terus berkepanjangan dan sedikit harapan untuk sembuh, atau ia terus melakukan perjalanan yang diperbolehkan (mubah, perjalanan yang tidak untuk maksiat) sampai ia mati, maka ia tidak perlu mengganti puasa yang ditinggalkannya, baik dengan puasa atau dengan membayar fidyah (makanan pokok), sebab ia tidak lalai.

✍ Tapi jika ia sengaja tidak berpuasa (tanpa sebab yang dibenarkan), kemudian ia meninggal dunia, baik sebelum sempat atau telah punya waktu untuk mengganti puasanya, atau ia tidak berpuasa karena alasan yang dibenarkan, kemudian meninggal setelah ia memiliki kesempatan untuk mengqadla’ puasanya, (dalam kedua masalah ini) wali atau keluarga si mayit harus memberikan satu mud makanan pokok daerah tersebut untuk setiap satu hari yang diambilkan dari harta peninggalan (tirkah) si mayit (dan diberikan kepada para fakir miskin).

✍ Apabila orang yang meninggal tersebut tidak memiliki harta, maka wali tidak wajib berpuasa atau membayar fidyah yang diambil dari hartanya sendiri, tapi (hal itu) disunnahkan bagi si wali, sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barang siapa yang mati sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa untuknya”.

Dari pemaparan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ahli waris tidak harus mengqadla’ atau membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkan salah satu keluarga yang meninggal karena sakit, karena ia tidak dalam kategori lalai dalam meniggalkan kewajiban.

Wallahu a’alam bis shawab.

📚 Referensi:

📓Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in sebagai berikut.

فللمريض ثلاثة أحوال إن توهم ضررا يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر وإن كان المرض خفيفا بحيث لا يتوهم فيه ضررا يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم

📓Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan

ويلزم أهل العمل المشق  في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر، وإلا فلا. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره والمتبرع وإن وجد غيره، وتأتي العمل لهم العمل ليلا كما قاله الشرقاوي. وقال في التحفة إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة. ومن لزمه الفطر فصام صح صومه لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر.

📓Syech Zainuddin Al Malibary :
اعانة الطالبين الجزء الثانى ص 267 دار الفكر
(ويباح فطر) فى صوم واجب (بمرض مضرٍّ) ضررا يبيح التيمم، كأن خشى من الصوم بطء برء، (وفى سفر قصر) دون قصير وسفر معصية. وصوم المسافر بلا ضرر أحب من الفطر (ولخوف هلاك) بالصوم من عطش أو جوع وإن كان صحيحا مقيما. وافتى الاذرعى بأنه يلزم تبييت النية كل ليلة، ثم من لحقه منهم مشقة شديدة – افطر، والا فلا. (ويجب قضاء) ما فات ولو بعذر من الصوم الواجب، كـــــ (رمضان) ونذر وكفارة بمرض او سفر …..

ش : (قوله وافتى الاذرعى الخ) تضمن الافتاء المذكور أنه يباح الفطر للحصادين، ومن ألحق بهم، لكن يجب عليهم تبييت النية، لانه ربما لا تلحقهم مشقة شديدة فيجب عليهم. وقد صرح بالمضمون المذكور فى التحفة، ونصها : ويباح تركه لنحو حصاد او بناء لنفسه او لغيره أو بأجرة، وان لم ينحصر الامر فيه. اهـ

📓اعانة الطالبين ج٢ص٢٦٨
وأفتى الاذرعي بأنه يلزم الحصادين - أي ونحوهم - تبييت النية كل ليلة، ثم من لحقه منهم مشقة شديدة - أفطر، وإلا فلا.

📓(ويجب قضاء) ما فات ولو بعذر من الصوم الواجب، ك (- رمضان) ونذر وكفارة بمرض أو سفر، أو ترك نية أو بحيض أو نفاس، لا بجنون وسكر لم يتعد به.(قوله: أي
ونحوهم) كأرباب الصنائع الشاقة.
وفي الكردي ما نصه: وظاهر أنه يلحق بالحصادين في ذلك سائر أرباب الصنائع الشاقة، وقضية إطلاقه أنه لا فرق بين الأجير الغني وغيره والمتبرع.
نعم، الذي يتجه: تقييد ذلك بما إذا احتيج لفعل تلك الصنعة، بأن خيف من تركها نهارا فوات ماله وقع عرفا.
وفي التحفة: لو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه على فطره، فظاهر أن له الفطر، لكن بقدر الضرورة.(قوله: ويجب قضاء الخ) أي على الفور إن فات بغير عذر، وعلى التراخي أن فات بعذر.
لكن محله بالنسبة لرمضان: إن بقي إلى رمضان الثاني ما يزيد على ما عليه من الصوم، وإلا صار فوريا.
ومن مات قبل أن يقضي، فلا يخلو إما أن يفوته الصيام بعذر، أو بغير عذر، وعلى الأول: فإن تمكن من القضاء - بأن خلا عن السفر والمرض ولم يقض - يأثم، ويخرج من تركته لكل يوم مد.
وإن لم يتمكن منه - بأن مات عقب موجب القضاء أو النذر أو الكفارة، أو استمر به العذر إلى موته - فليس عليه شئ، لا فدية ولا قضاء، ولا إثم.
وعلى الثاني - أعني ما إذا فاته بغير عذر - يأثم، ويخرج من تركته لكل يوم مد - سواء تمكن من القضاء أو لا - فحاصل الصور أربع، يجب التدارك في ثلاث، ولا يجب في صورة واحدة.

📓majmu' syarah muhazdab

{ فرع } في مذاهب العلماء فيمن مات وعليه صوم فاته بمرض أو سفر أو غيرهما من الاعذار ولم يتمكن من قضائه حتى مات * ذكرنا أن مذهبنا أنه لا شئ عليه ولا يصام عنه ولا يطعم عنه بلا خلاف عندنا وبه قال أبو حنيفة ومالك والجمهور

📓نهاية الزين - (ج 1 / ص 192)

ومن مات وعليه صيام رمضان أو نذر أو كفارة قبل إمكان فعله بأن استمر مرضه الذي لا يرجى برؤه أو سفره المباح إلى موته فلا تدارك للفائت بالفدية ولا بالقضاء ولا إثم عليه لعدم تقصيره فإن تعدى بالإفطار ثم مات قبل التمكن وبعده أو أفطر بعذر ومات بعد التمكن أطعم عنه وليه من تركته لكل يوم فاته مد طعام من غالب قوت البلد فإن لم يكن له تركة  يلزم الولي إطعام ولا صوم بل يسن له ذلك لخبر من مات وعليه صيام صام عنه وليه .

والله أعلم بالصواب
http://Diskusihukumfiqh212.blogspot.com

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.