Download kitab pdf terlengkap AswajaPedia Klik di sini

Akidah 50 dalam pandangan ahlussunnah wal jama'ah


I. MUQODDIMAH.

AKIDAH (Ar.:'aqidah;jamak:'aqa'id) secara linguistik berasal dari 'aqada yang berarti ikatan, sumpah, janji. Sedangkan secara terminologis  akidah berarti dasar keyakinan atau keimanan seseorang kepada Allah SWT. Dengan kata lain, iman seseorang bertendensi pada akidahnya. Jika akidahnya benar, maka imannya benar, begitu pula sebaliknya. Karena akidah merupakan esensi keimanan, maka akidah berlaku bagi seluruh umat manusia dan tidak berubah oleh pergantian zaman. Kandungan akidah menurut kalangan ahlusunah waljamaah terdiri atas enam pokok keyakinan, yaitu 1) iman kepada Allah SWT (star principle) 2) iman kepada para malaikat (angel principle) 3) iman kepada kitab suci (learning principle)  4) iman kepada para rasul (leadership princieple) 5) iman kepada hari kiamat (vision principle) (6) iman kepada qadla' dan qadlar Allah SWT (well and organized principle). Dan kandungan akidah ini disebut dengan Rukun Iman.

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ

" Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya…"(QS.2:285).

             Berbicara seputar akidah (teologi) sangat erat korelasinya dengan "tauhid" yang berarti "satu" atau "esa". Tauhid berarti "meyakini bahwa Allah SWT adalah satu, esa atau tunggal", tidak ada yang menyamai-Nya, baik dalam dzat-Nya, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya dalam menciptakan alam semesta ini. Sesuai dengan kandungan suratal-Kafirun dan al-Ikhlas yang seluruhnya menjelaskan denotasi tauhid. Dan hal ini dikenal dengan prinsip monoteistik (keimanan kepada satu Tuhan), serta merupakan salah satu agenda utama perjuangan para Nabi dan Rasul yang telah dijadikan bagian formula dalam kalimat: La Ilaaha Illa Allah. Tauhid sendiri mengandung tiga pengertian :

" Tauhid Ilahiyah : Allah SWT wujud dan esa, serta tidak mempunyai sekutu.
" Tauhid 'Ubudiyah : Tidak ada yang patut disembah realitasnya kecuali Allah SWT yang Maha Esa.
" Tauhid Rububiyah : Semua yang ada di alam semesta dikendalikan dan manajemennya oleh Allah SWT, tanpa ada intervensi sekutu lain.

            Oleh karena itu, marilah kita mencoba menganalisa dan menelaah kembali konsepsi pemahaman   akidah ahlusunah waljamaah. Seiring dengan pernyataan-pernyataan "oknum" disekitar  kita yang sudah terkontaminasi oleh ajaran-ajaran kaum liberalis jelmaan dari golongan Muktazilah. Sehingga menggugah kita  untuk memberikan kontribusi jawaban dan mengcounter mereka dengan mengambil rujukan dari literatur salafus sholihin.

II. HUKUM AKLI

Dalam kalangan paham ahlisunah waljamaah ada dua kelompok aliran teologi, yaitu aliran Asy'ariyah (Abu Hasan Ali bin Isma'il al-Asy'ari 260-324 H/873-935 M) dan aliran Maturidiyah (Abu manshur Muhammad al-Maturidi (w.333 H/944 M). Kedua aliran ini  lahir sebagai  reaksi dari paham golongan Muktazilah (Wasil bin Atho' 80-131 H/699-748 M) yang menganut paham rasionalis, liberalis dan filosofis. Dan kedua aliran ini juga sangat berjasa dalam membangun paham ahlusunah waljamaah dengan berupaya seoptimal mungkin menampung semua aspirasi umat islam kala itu untuk selalu konsisten dengan sunnah rasul dan sunah khulafaur rosyidin. Dan yang paling berjasa dalam menyebarkan ajaran-ajaran Asy'ariyah adalah Imam al-Ghozali. Beliau merupakan tokoh yang pola pikirnya senada dengan al-Asya'ri dan beliau juga sosok yang paling berpengaruh dari paham ahlusunah waljamaah didunia islam. Melalui usaha Imam al-Ghozali dan murid-muridnya, ajaran ahlusunah waljamaah tersebar ke seluruh pelosok dunia hingga saat ini.

Sebagai langkah awal yang harus di tempuh oleh orang dewasa (mukallaf) adalah mengetahui al-'Aqa'id al-Khomsin (akidah 50) berikut dengan dalil-dalilnya baik secara Ijmaly (global) atau Tafshily (perinci), sebagai penyempurnaan atas keabsahan ritual ibadahnya sehari-hari  dihadapan Sang Kholiq. Sebab tanpa mengenal  Tuhannya maka semua amal ibadahnya semisal shalat, zakat, puasa dan sebagainya tidak sah, walaupun  mendapat legimitasi syara' dengan memenuhi syarat dan rukunnya. Berdasarkan pendapat sebagian ulama' yang menyatakan bahwa taklid dalam masalah iman itu tidak cukup. Dari sini kita bisa memahami bahwa mengenal Allah SWT merupakan suatu kewajiban (fardlu 'ain) pertama dari semua amal ibadah yang lain sebagai pondasi yang harus terbina dalam diri seseorang. Imam Ibnu Ruslan secara eksplisit telah menuangkan dalam karyanya yang sangat monumental:
اول واجب على الإنسان # معرفة الإله باستقان
" Awal kewajiban bagi manusia adalah mengenal Allah dengan penuh keyakinan ".

Pemahaman suatu akidah (teologi) tergantung kepada tiga poin, yaitu : al-Wajib (wajib), al-Mustahil (irasional), dan al-Ja'iz (boleh). Yang lebih dikenal dengan istilah Hukum 'Aqli, oleh karena itu memahami tiga perkara di atas adalah hukumnya wajib sebab suatu perkara wajib (red:akidah 50) yang tergantung atas perkara lain (red:tiga poin) konsekuensinya juga  wajib.

            Wajib 

Pengertian wajib ialah sesuatu yang irasional akan tidak adanya. Artinya akal yang normal tidak akan mempercayai atau membenarkan perihal ketiadaannya. Seperti contoh semua jirim (benda) yang ada di muka bumi ini butuh pada tempat sebagai tempat berdiamnya. Hal ini sudah menjadi keharusan atau kewajiban bahwa semisal pohon, batu dan lain sebagainya sangat irasional jika dikatakan tidak pernah membutuhkan tempat. Atau seperti contoh tidak adanya sifat Qudrat (kemampuan) pada Dzatnya Allah SWT, tentu demikian ini akal kita tidak mempercayai akan ketiadaannya, karena sifat Qudrat  termasuk sifat wajibnya Allah SWT. Dalam doktrin tauhid wajib ada dua macam yaitu Wajib Nadhori (pemikiran) dan wajib Dloruri (emergensi). Tahayyuz (butuhnya tempat) oleh suatu benda merupakan contoh dari wajib dloruri, karena hal itu tidak membutuhkan pemikiran yang bertele-tele. Sedangkan Allah SWT mempunyai sifat Qudrat adalah salah satu contoh wajib nadhori, karena logika kita akan menerimanya setelah kita melakukan refleksi dan mendalami hal-hal yang berkaitan dengan sifat qudrat semisal Daur (berputar) dan Tasalsul (berantai).

            Adapun wajib dengan makna : Orang yang mengerjakan diberi pahala dan orang yang meninggalkan diberi siksa, merupakan pengertian yang tidak dimaksudkan dalam doktrin tauhid.             Akan tetapi apabila dikatakan : wajib atas setiap mukallaf untuk mengi'tikadkan sifat Qidam (kekal) atas dzatnya Allah SWT, maka maknanya adalah orang tersebut diberi pahala atas I'tikad itu dan  mendapat 'adzab (siksa) karena meninggalkan I'tikad tersebut. Maka hendaklah dibedakan antara dua pengertian wajib yang bermuara pada mengi'tikadkan hal ini hukumnya wajib dan pengertian wajib yang bermuara sifat Ilmu (contoh) itu hukumnya adalah wajib. Sebab, jika dikatakan sifat ilmu itu wajib bagi Allah SWT, maka mengandung makna akal tidak akan membenarkan dengan tidak adanya sifat Ilmu bagi Allah SWT. Ini berarti bahwa sifat Ilmu bagi  Allah SWT itu tidak bisa dibenarkan ketiadaannya oleh akal. Sedangkan jika dinyatakan mengi'tikadkan bahwa Allah SWT itu bersifat ilmu adalah wajib, maka pengertian wajib disini ialah orang yang merealisasikan I'tikad tersebut akan mendapat pahala dan orang yang berpaling akan mendapat siksa. Ini berarti bahwa setiap orang yang mengi'tikadkan adanya sifat ilmu atas Allah SWT akan mendapatkan pahala dari Allah, sebaliknya orang yang tidak percaya akan diberi siksa.
            Nah ! berarti kedua makna di atas tidak kontradiktif, maka bedakanlah kedua makna wajib di atas dan berusahalah menjaga pengertian keduanya dengan baik agar tidak salah persepsi.

            Mustahil
Pengertian mustahil adalah sesuatu yang eksistensinya tidak bisa diterima secara logis. Maka jika ada pernyataan bahwa benda semisal batu, dinding sunyi dari gerakan atau diam secara bersamaan, tidaklah akal akan mengamini. Karena yang demikian itu akal sama sekali tidak akan membenarkan terjadinya dan wujudnya batu, dinding kosong dari gerakan dan diam secara bersamaan. Artinya, bahwa batu tersebut dalam satu waktu tidak bergerak dan tidak pula diam, maka tentunya hal tersebut adalah mustahil (impossible) dimana akal tidak bisa membenarkan batu dalam keadaan seperti itu. Karena secara logika sebuah batu kalau tidak diam maka ia akan bergerak dan kalau tidak bergerak maka ia akan diam. Dan tidaklah mungkin ada batu yang ada dalam satu waktu tidak bergerak dan tidak pula diam. Seperti halnya wajib, mustahil juga tergolong dalam dua bagian, Mustahil Dloruri dan Mustahil Nadhori. Sunyinya benda (batu,dinding) dari gerakan dan diam secara bersamaan adalah contoh dari mustahil dloruri. Dan adanya dzatnya Allah SWT berbentuk jirim (benda) merupakan contoh dari mustahil nadhori, karena pemahaman ini masih membutuhkan kompetensi daya pikir penalaran.


            Jaiz.
Denotasi jaiz ialah sesuatu yang dapat dibenarkan oleh akal dengan wujud dan tidaknya. Seperti wujudnya anak yang dimiliki Fatimah (nama samaran), jika ada seorang mengatakan :" Fatimah mempunyai anak", maka akal akan menerima dan mempercayai akan pernyataan tersebut. Dan apabila dinyatakan "Fatimah tidak mempunyai anak", maka akalpun akan membenarkan hal itu. Maka wujud dan tidaknya anak yang dimiliki Fatimah hukumnya adalah boleh (jaiz). Tidak jauh beda dengan pembagian hukum akli yang lain, hukum jaizpun terbagi menjadi dua item, yakni Jaiz Dloruri dan Jaiz Nadhori. Sebagai contoh dari jaiz dloruri adalah menyatakan semisal batu keadaannya sekarang adalah bergerak. Allah menyiksa salah satu umatnya yang loyal dan tidak pernah maksiyat (durhaka) seujung rambutpun kepada-Nya merupakan tamtsil (contoh) dari jaiz nadhori. Sebab permasalahan ini tidak akan langsung kita taslim (menerima) kecuali dengan menganalisis tesis dari sifat wahdaniyah (keesaan) didalam sifat dan dzatnya Allah SWT. Serta mengetahui bahwa selain Allah tidak mempunyai atsar (pengaruh) sama sekali, sehingga tidak ada distingsi diantara hamba Allah yang tho'at dan yang berbuat maksiat.

Konklusinya, ketiga pilar dari hukum aqli ini merupakan bagian yang harus (tidak boleh tidak) dipahami oleh semua  orang mukallaf (baligh,akil) tanpa terkecuali. Karena pemahaman akidah-akidah bertumpu  padanya. Maksudnya, bahwa kalau pemahaman perkara yang wajib yakni akidah 50 itu tergantung pada pemahaman mengenai yang tiga tersebut WAJIB, MUSTAHIL, JAIZ. Bahkan pendapat Imam Haromain yang didukung oleh mayoritas ulama ahli tauhid (teolog) menyatakan  pemahaman hukum aqli merupakan esensi dari akal itu sendiri. Artinya orang yang tidak mengerti makna dari ketiga hukum aqli tersebut  termasuk kategori orang yang tidak punya akal (tidak mukallaf). Wallahu A'lam bi Showab.

III.       AKIDAH 50.

            Oleh karenanya, ketahuilah bahwa Akidah 50 secara global tercakup dalam beberapa hal sebagai berikut :

1.         20 sifat wajib Allah SWT.
2.         20 sifat mustahil Allah SWT.
3.         1 sifat jaiz Allah SWT.
4.         4 sifat wajib rasul.
5.         4 sifat mustahil rasul.
6.         1 sifat jaiz rasul.
Dari sifat wajib Allah SWT yang berjumlah 20 ini diklasifikasikan menjadi empat golongan :

a)         Sifat Nafsiah
            Adalah sifat wujud (ada), suatu dzat yang tidak bisa dipahami tanpa keberadaannya, dalam arti tidak masuk akal akan adanya dzat itu kecuali dengan sifatnya yang nafsiyah. Dan setiap sesuatu yang yang bersemayam didalam dzat tanpa dilatar belakangi oleh Illat (sebab) disebut dengan sifat Nafsiyah. Hal ini mengecualikan SIFAT MAKNAWIYAH semisal adanya Allah SWT mempunyai sifat 'Aliman, Kadiran, atau Muridan. Sebab adanya Allah mempunyai sifat ketiga di atas ('aliman, kadiran dan muridan) di sebabkan bersemayamnya sifat Ilmu, Qudrat dan Iradat. Begitupun pemahaman di atas juga mengecualikan SIFAT MA'ANI, seperti sifat ilmu dan qudrat (kuasa). Jadi pengertian SIFAT NAFSIYAH dapat dimaklumi dari dua dimensi :

"           Sesuatu dzat yang tidak bisa dipahami tanpa keberadaannya.
"           Setiap hal yang berdiri atau bersemayam di suatu dzat tanpa adanya satu sebab (illat).

b)         Sifat Salbiyah
            Adalah salah satu kualifikasi sifat wajib Allah SWT yang terdiri dari lima sifat, yaitu : al-Qidam (tiada bermula), al-Baqa' (kekal), al-Mukholafah li al-Hawadits (tiada unsur kesamaan dengan makhluk), al-Qiyam bi an-Nafsi (bersemayam pada dzatnya sendiri), al-Wahdaniyah (esa). Sifat Salbiyah mengandung arti bahwa Allah SWT di-nafi-kan (ditiadakan) dari hal-hal yang tidak pantas bagi keagungan-Nya. Jadi semisal sifat Qidam itu berarti menafikan atau mentiadakan Allah Ta'ala dari sifat yang tidak layak yaitu adanya permulaan bagi-Nya. Adanya sifat Baqa' mengandung arti bahwa Allah selamanya akan abadi dan tak akan sirna (fana').

c)         Sifat Ma'ani
            Ada tujuh sifat wajib Allah SWT yang termasuk dalam sifat Ma'ani ini. Diantaranya adalah : al-Qudrat (kuasa), al-'Irodat (berkehendak), al-'Ilmu (pengetahuan), al-Hayat (kehidupan), as-Sama' (maha mendengar), al-Bashar (maha melihat), al-Kalam (berfirman). Demikian ini yang dikemukakan oleh aliran As'ariyah, lain halnya  pendapat aliran Maturidiyah  yang mengatakan bahwa sifat ma'ani ada delapan sifat dengan ditambah sifat  at-Takwin (menciptakan). Ketujuh sifat di atas disebut dengan sifat Ma'ani karena pengertian sifat Ma'ani sendiri adalah setiap sifat yang eksistensinya berdiri pada perkara yang wujud serta ada konsekuensi hukum. Baik sifat yang haditsah (baru) seperti sifat putih yang terdapat kapur (contoh) ataupun sifat yang qodimah (tiada permulaan) seperti sifat Ilmu dan Qudratnya Allah SWT. Artinya ketujuh sifat di atas tidak akan didapatkan kecuali bersemayam pada suatu dzat, dan tidak mungkin akan berdiri dengan sendirinya. Dan yang dimaksud dari kata-kata " ada (mewajibkan) konsekuensi hukum " ialah lazim dari ketujuh sifat di atas dengan dzat (Allah SWT) akan tetapnya hukum-hukum sifat itu (ma'ani) bagi dzat tersebut. Maka keberadaan sifat Qudrat yang berdiri di dzatnya Allah SWT melazimkan atau mewajibkan keadaan dzat itu berkuasa (Qadiran), adanya sifat Sama' mewajibkan Allah Azza Wajall keadaan Maha Mendengar (Sami'an). Dan begitulah seterusnya hingga akhir yang tujuh di atas.


d(.        Sifat Ma'nawiyah Adalah pembagian dari sifat wajib Allah 'Azza Wajall  yang terakhir. Sifat Ma'nawiyah ini terdiri dari tujuh sifat yang merupakan follow up dari sifat ma'ani. Diantaranya: Qadiran )Maha Kuasa(, Muridan )Maha Berkehendak(, 'Aliman )Maha Mengetahui(, Hayyan )Maha Hidup(, Sami'an )Maha Mendengar(, Bashiran )Maha Melihat(, Mutakalliman )Maha Berfirman(. Disebut sifat Ma'nawiyah sebab, merupakan far'un )cabang( dan kelaziman dari sifat ma'ani yang telah diuraikan di muka. Sifat ma'nawiyah adalah suatu sifat yang tidak  nampak )wujud( di dalam dzatnya sendiri, hanya saja karena ada faktor lain yakni 'illat )sebab(, selama illat itu masih  berada atau berdiri di dalam dzat tersebut. Hal ini berbeda dengan pemahaman sifat ma'ani ialah sifat wujud yang bisa dilihat oleh kasat mata seandainya dicabut tabir )hijab( penghalang dari kita.
            Adapun hikmah yang terkandung didalam penyebutan sifat ma'nawiyah meskipun sudah tercakup dalam sifat ma'ani karena ada beberapa hal :
            Karena dengan menjelaskan sifat ma'nawiyah berarti mengerti aka'id 50 lebih spesifik dan lebih detail. Dan juga karena kebanyakan orang Awam tidak mengetahui dan tidak mau 'mengerti' dalam masalah ini )ilmu kalam/teologi islam(. Mengcounter )ar-Raddu( terhadap aliran Mu'tazilah yang konsepsinya mengingkari sifat maknawiyah. Mereka memvonis bahwa semisal  Allah bersifatan berkehendak )muridan( tanpa disebabkan oleh sifat Qudrat dan Iradat. Dan dengan argumentasi ini mereka bermaksud menafikan  semua sifat wajib Allah. Naudzu Billahi Min Dzalik.
                        Agar iman atau keyakinan kita semakin mantap dan kualitas tauhid kita bertambah tahqiq  serta kita keluar dari ikhtilaf para ulama' yang mensyaratkan iman seorang mukallaf harus disertai dengan dalil yang tafshil. Maka marilah kita mempelajari aka'id 50 beserta dalil-dalilnya yang bersumber dari teks )nash( Al-Qur'an dan hadits serta dari literatur-literatur ulama yang mempunyai kompetensi dibidang ilmu kalam )ushuluddin( atau yang lebih dikenal dengan ilmu teologi islam.

IV.       SIFAT WAJIB ALLAH SWT )20(.
Adapun perinciannya sebagai berikut :
1.         Wujud
            Ulama' masih belum menuai kesepakatan dalam menafsiri sifat wujud bagi Allah SWT. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa pengertian wujud adalah esensi )al-'Ainu( dari maujud itu sendiri, hal ini yang diutarakan oleh aliran Asy'ariyah. Maka berdasarkan pendapat ini wujudnya Allah adalah dzat-Nya sendiri. Sedangkan menurut pendapat selainnya )Imam ar-Rozi( wujud itu adalah hal yang wajib bagi suatu dzat selama dzat itu masih ada dan tidak disebabkan oleh satu illat. Tesis atas wujudnya Allah Ta'ala adalah wujudnya alam, dan yang dimaksud alam sendiri ialah selain Allah 'Azza Wajalla. Sebab seandainya tidak ada wujudnya Allah niscaya alam semesta dan seisinya ini akan tercipta. Demikian ini merupakan salah satu bukti adanya Allah SWT secara logika )akli(. Sedangkan dalil nash Al-Qur'an ialah :
إِنَّنِيْ أَنَا الله ُلَا اِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ
" Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan )yang hak( selain Aku, maka sembahlah Aku ". )QS.20:14(

2.         Qidam.
Yaitu tiada permulaan atas wujud-Nya Allah Ta'ala. Artinya wujudnya Allah tidak ada awaliyah )permulaan( karena justru Allah-lah sumber, Sang Pencipta )kholiq( dari segala perkara yang berada di alam ini. Maka akan menyimpulkan bahwa Allah awal dari segalanya, tiada satupun yang mendahului-Nya. Dalil aklinya adalah seandainya wujudnya Allah itu tidak Qidam, maka Allah akan bersifatan dengan hadits )baru(. Dan tidak mungkin berada ditengah-tengah antara Qidam dan Hadits. Dan jika Allah dinyatakan Hadits, niscaya Allah akan butuh kepada subyek yang menciptakannya sehingga subyek inipun akan membutuhkan pada subyek yang lain pula, begitu seterusnya. Konsekuensinya akan terjadi tasalsul )berantai( atau daur )berputar(, hal semacam ini tergolong mustahil. Dalil yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an ialah :
هُوَ الْأَوَّلُ وَالآخِـرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَئٍ عَلِيْمٍ.
 "Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang dhohir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu ". )QS.57:3(

3.         Baqa'
Sifat ketiga yang wajib bagi Allah Ta'ala adalah Baqa' dan maknanya adalah : tidak ada akhir bagi wujud-Nya )kekal/abadi(. Artinya, sesungguhnya Allah wujud selamanya tanpa batas dan abadi tiada akhirnya. Dan dalil atas baqa'Nya Allah Ta'ala adalah : jika seumpama boleh Allah itu dikoneksikan dengan ketiadaan )'adam( niscaya Allah akan hadits. Dan sudah barang tentu juga berakibat pada terjadinya tasalsul dan daur sebagaimana penjelasan di awal tadi. Secara dhohir )eksplisit( pengertian ini terkandung dalam firman Allah suratar-Rahman ayat 26-27 :
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ. وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوْ الْجَلَالِ وَالْإِكْـرَامِ.
" Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulian ".

4.         Mukholafah Lilhawaditsi
Sifat ini bermakna "berbeda dengan segala yang baru yakni para makhluk". Maka Allah Ta'ala itu berbeda dengan tiap-tiap makhluk  baik dari golongan manusia, jin, malaikat dan yang lainnya. Sehingga tidak sah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk pada umumnya seperti berjalan, duduk, ataupun mempunyai organ tubuh lazimnya manusia. Maha Suci Allah dari anggota tubuh semisal mulut, mata, telinga dan lain sebagainya. Tidak seperti satu persepsi yang sangat dangkal dan dengan kedlurungannya, ia berkampanye dihadapan publik bahwa pengertian dari sifat wajib Allah yang keempat ini adalah "Allah menciptakan hambanya beraneka ragam". Semoga kita semua dilindungi oleh Allah dari pemahaman ini. Sebagai dalil atas sifat yang keempat ini hampir senada dengan dalil sifat-sifat yang sebelumnya. Yakni seandainya Allah ada yang menyamai di dalam sifat atau perbuatannya maka Allah juga tentunya akan sama dengan perkara tadi yaitu sama-sama hadits )baru(. Ini Mustahil. Dalam surat as-Syura ayat 11 secara tersurat Allah berkata yang mengandung arti kurang lebih semacam ini : "Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Atau dalam surat yang lain yaitu :
وَلمَ ْيَكُنْ لَهُ كُفُـوًا أَحَدٌ
"Dan tak ada seorangpun yang setara dengan Dia".)QS.112:4(

5.         Qiyamuhu bin Nafsi
Artinya keadaan Dzat-Nya Allah Ta'ala itu berdiri atau berdiam di dzat-Nya sendiri, tidak membutuhkan tempat )mahal( dan subyek yang menciptakan )mukhossis/mujid(. Berbeda dengan selainnya yang membutuhkan tempat untuk berdiam dan mujid )pencipta( yang mewujudkan. Sebagai penguat atas pengertian ini adalah apabila Allah membutuhkan terhadap mahal untuk berdiam seperti halnya warna putih yang butuh pada benda/dzat niscaya Allah itu  berupa sifat sebagaimana warna putih. Dan tidak masuk akal jika Allah termasuk kategori sifat, karena Allah bersifat dengan beberapa sifat sedangkan sifat tidak akan mungkin disifati serta juga akan bermuara pada daur dan tasalsul jika seandainya Allah membutuhkan pada subyek lain. Dalil nash-nya adalah :
إِنَّ اللهَ لَغَـنِيٌّ عَنِ الْعَـا لمَِيْنَ
" Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya )tidak memerlukan sesuatu( dari semesta alam ".)QS.29:6(

6.         Wahdaniyah
Adanya Allah Maha Esa di dalam Dzat, Sifat, dan Af'al )perbuatan(-Nya Allah Ta'ala dan lebih singkatnya "TIADA BERBILANG". Makna dari keberadaan Dzat-Nya Allah Esa adalah dzatNya Allah tidak tersusun dari komponen )ajza'( dan TARKIB atau susunan yang disebut Kam Muttashil. Juga bermakna tidak ada satupun yang menyerupai dzat-Nya Allah yang disebut dengan Kam Munfashil. Adapun makna dari adanya Allah Maha Esa didalam sifat-Nya ialah Allah tidak mempunyai dua sifat yang sesuai di dalam nama dan maknanya, serta tidak mungkin ada yang menyamai dengan sifatnya Allah Ta'ala. Begitupun Maha Esa di dalam Af'al )perbuatan( bahwa selain Allah tidak memiliki perbuatan, karena Allah yang menciptakan perbuatan makhluk dari golongan manusia, jin, malaikat dan lain sebagainya. Wujudnya alam sebagai dalil atas sifat Wahdaniyahnya Allah. Banyak sekali dalil Al-Qur'an yang menjelaskan sifat  Allah yang keenam ini. Diantaranya :" Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa ". )QS.112:1(
لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا.
" Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa ".)QS.21:22(

7.         Qudrat
Yaitu sifat yang Qodim atas dzat-Nya Allah Ta'ala yang berperan untuk menciptakan dan mentiadakan. Sifat Qudrat ini koneksiya )ta'alluq( dengan semua perkara yang mungkin )mumkinat(. Dalinya ialah:
إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَئٍ قَـدِيْرٌ.
" Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ". )QS.24:45(
8.         'Iradat
Adalah sifat kedelapan yang wajib bagi Allah  dengan arti sifat yang mengkhususkan atau memfokuskan akan semua perkara yang mungkin terjadi sesuai dengan kehendaknya, tanpa termotivasi atau dibawah tekanan apapun dan siapapun. Maka seperti wujudnya Faiz )contoh( dalam keadaan tampan atau jelek, 'Iradat akan mengkhususkannya dengan tampan )misalkan(. Adapun yang merealisasikan tampan yang asalnya tidak wujud merupakan sifat qudrat-Nya Allah Ta'ala. Allah berfirman :
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ, مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ...
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka".)QS.al-Qashash:68(

9.         Ilmu
Ketahuilah, pengertian sifat Ilmu adalah suatu sifat yang wujud dan qodim, yang berdiri  atas dzat-Nya Allah serta dapat menyingkap semua perkara yang bersifat wajib, jaiz, dan mustahil secara mendetail, akurat dan nyata tanpa didahului oleh kesamaran. Dalam arti bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi pada zaman azali dan tidaklah Allah itu jahil )bodoh( terlebih dulu kemudian mengetahuinya. Maha Suci Allah dari yang demikian ini. Dalilnya :
إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.
"Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". )QS.al-Mujadalah : 7(

10.       Hayat
Secara arti bahasa adalah HIDUP, sedangkan dalam perspektif tauhid ialah satu sifat yang melegimitasi atau menshahihkan bagi suatu dzat untuk idrok )pencapaian( seperti ilmu, sama', dan bashar. Dalam arti Allah sah untuk mempunyai sifat-sifat seperti diatas. Dalil atas sifat wajibnya Allah dengan sifat Qudrat, 'Iradat, Ilmu dan Hayat adalah wujudnya alam semesta ini. Sebab jika Allah sunyi dari sifat-sifat di atas maka niscaya alam beserta isinya tidak akan wujud. Salah satu ayat al-Qur'an yang menyatakan sifat wajib Hayat bagi Allah Ta'ala adalah:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لَا يَمُـوْتُ.
"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup )kekal( Yang tidak mati…)QS.al-Furqan:58(

11.       Sama' 12.  Bashar
Artinya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat kepada semua perkara yang maujud baik hal itu bersifat wajib atau jaiz. Maka Allah mendengar dan melihat suara seseorang, jadi tak ada satupun yang tidak bisa didengar dan dilihat oleh Allah hingga seperti wujudnya semut hitam yang berjalan di atas bebatuan di malam gelap gulita. Ataupun volume dan bentuk suara sekecil apapun semua dapat dilihat dan didengar oleh-Nya. Dengan bertendensi pada al-Qur'an, as-Sunnah )hadits(, dan I'jma' diantaranya adalah ayat al-Qur'an yang sudah masyhur yaitu :
إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ.
" Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mendengar ".

13.       Kalam
Ketahuilah, bahwa kalam)firman( Allah yang ada pada-Nya merupakan sifat yang tak bermula )azaliy(. Dimana firman Allah tidak sama dengan kalam manusia atau makhluk yang lain, yaitu tidak berupa  rangkaian huruf dan tidak pula berupa suara dan hal ini yang disampaikan oleh kaum aliran Asy'ariyah. Lain halnya kaum aliran Muktazilah yang mengusung bahwa kalam itu pasti terdiri dari dua unsur yaitu rangkaian huruf dan suara. Maha suci firman Allah Ta'ala dari unsur taqoddum )permulaan(, unsur ta'akhur )terakhir(, kevakuman firman dan lain sebagainya. Arti sebenarnya adalah tak ada bagian yang lebih dahulu atau yang lebih akhir pada firman Allah sebagaimana lazimnya yang terdapat pada tata aturan  kata dalam bahasa manusia. Maka firman Allah berbeda dengan format bahasa kita yang selalu memiliki bagian depan dan belakang.
Secara etimologis, Al-Qur'an juga bisa dinyatakan firman Allah dengan pemahaman yang sebenarnya, sebab al-Qur'an memang Kalam Allah dari segi makna yang ditunjukkan )dalalah(, bukan dalam arti bahwa firman Allah itu menjelma di dalam al-Qur'an.
وَ كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
"Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung". )QS. An-Nisa' :164(
            Setelah mengerti dan memahami sifat ma'ani yang wajib bagi Allah Ta'ala, maka dengan sendirinya kita juga mengerti bahwa ketujuh sifat tersebut akan berkonsekuensi pada sifat MAKNAWIYAH.Yaitu :
14.       Qadiran artinya  Allah Maha Kuasa.
15.       Muridan artinya  Allah Maha Berkehendak
16.   'Aliman artinya  Allah Maha Mengetahui.
17.   Hayyan artinya adanya Allah Maha Hidup.
18.   Sami'an artinya  Allah Maha Mendengar.
19.   Bashiran  Allah Maha Melihat
20.   Mutakalliman  Allah Maha Berfirman.

V.        SIFAT MUSTAHIL ALLAH SWT.
            Sifat Mustahil Allah adalah antonim dari sifat wajib Allah, jadi sifat mustahil Allah juga berjumlah dua puluh sesuai dengan jumlah sifat wajibAllah,  sebagai berikut :
1.         Adam artinya tidak ada.
2.         Huduts artinya baru
3.         Fana' artinya sirna atau binasa.
4.         Mumatsalah lil Hawadits artinya sama dengan makhluk
5.         'Adamu al-Qiyam bin Nafsi artinya tidak berdiam di dzatnya sendiri.
6.         Ta'addud artinya terbilang atau tersusun.
7.         'Ajzun artinya lemah.
8.         Karahah artinya terpaksa.
9.         Jahl artinya bodoh/lalai.
10.       Maut artinya mati
11.       Shomam artinya tuli
12.       'Ama artinya buta
13.       Bukmu artinya bisu
14.       'Ajizan artinya adanya Allah lemah
15.       Karihan artinya adanya Allah terpaksa atau tanpa kehendak
16.       Jahilan artinya adanya Allah bodoh
17.       Mayyitan artinya adanya Allah mati
18.       Ashommu artinya adanya Allah tuli
19.       A'ma artinya adanya Allah buta
20.       Abkamu artinya adanya Allah bisu

            Dan ketahuilah sesungguhnya dali dari sifat mustahil Allah mengekor pada sifat wajib-Nya Allah baik yang secara ijmaliy atau tfshiliy.

VI.       SIFAT JAIZ ALLAH SWT.
            Diantara yang wajib diketahui oleh setiap oleh orang mukallaf )akil,baligh( adalah sifat JAIZ Allah Ta'ala. Adapun sifat jaiznya Allah SWT adalah  Fi'lu Mumkinin au Tarkuhu, artinya ialah berbuat atau membiarkan suatu hal. Maka wajib bagi setiap mukallaf mengi'tikadkan bahwa Allah itu boleh )jaiz( menciptakan, berbuat, jelek buruknya sesuai dengan iradatnya. Dan sama sekali tidak ada yang wajib Allah Ta'ala karena Dia-lah  subyek yang menciptakan dengan absolut. Serta tiada ada kuasa atas selainnya, Dia-lah  satu-satunya dzat Maha Pemberi, Pencegah, Pengampun dan Penyiksa dan lain sebagainya. Pendapat ini sekaligus mengcounter paham Muktazilah yang menyatakan bahwa Allah wajib berbuat hal yang sholah )bagus( dan ashlah )paling baik(. Allah berfirman :
قُـلْ كُلٌّ مِـنْ عِنْدِ اللهِ
"Katakanlah: semuanya )datang( dari sisi Allah". )QS.an-Nisa': 78(
Dalil akan sifat jaiznya Allah SWT adalah seumpama ada perbuatan yang wajib atas diri-Nya maka niscaya perkara yang wajib ataupun yang jaiz akan terjadi distorsi hukum,perkara yang statusnya jaiz akan berbalik WAJIB. Begitupun ketika tercegah )imtina'( atas Allah terhadap suatu hal yang mungkin )mumkinat( terjadi maka perkara jaiz akan berbalik menjadi MUSTAHIL.

VII.     SIFAT WAJIB PARA NABI & RASUL.
            Disamping meyakini kemahaesaan Allah beserta dengan sifat-sifatnya, teologi islam juga mengajarkan keimanan terhadap kenabian dan kerasulan. Ajaran ini dijadikan sebagai akidah yang mengiringi keyakinan kepada kemahaesaan Allah Ta'ala. Orang yang meyakini akidah tauhid tetapi tidak meyakini kenabian dan kerasulan tidak dapat dikategorikan sebagai muslim. Menurut sekelompok ulama' jumlah para Nabi kurang lebih ada 124.000 dan 313 para rasul, tetapi menurut pendapat yang benar jumlah para nabi dan para rasul tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Yang Maha Esa.
            Adapun sifat wajib para nabi dan rasul ada empat yaitu: 1.   Fathonah
Arti sekilas adalah otak yang cerdas, cerdik atau pemikiran yang tajam. Dan jika diuraikan secara mendetail ialah wajib bagi para Nabi dan Rasul mempunyai sifat otak yang gemilang, peka terhadap semua permasalahan, dan mempunyai manajemen yang bagus dalam mengalahkan para musuh-musuhnya ketika berorasi serta membatalkan hujjah )pendapat( mereka. Dalil aklinya adalah seandainya para nabi dan rasul tidak mempunyai sifat Fathonah niscaya tidak akan mampu mengalahkan argumentasi musuh-musuhnya. Dan secara naluri tidaklah mungkin orang yang menjadi  panutan atau pemimpin mempunyai sifat dungu atau tolol.
 وَجَـا دِلْهُـمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَـنُ
"Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik". )QS.an-Nahl: 125(
2.         Shiddiq
Adalah mengandung makna jujur atas semua perkataannya yakni apa yang diucapkan sesuai dengan fakta dan realitas yang ada, tidak ada penambahan ataupun pengurangan informasi. Sebagai dalilnya ialah jika seandainya tidak ada sifat shiddiq bagi para rasul dan nabi maka niscaya wahyu-Nya akan dusta. Karena Allah akan melegalisir pengakuan kenabian atau kerasulan hambanya dengan menampakkan Mukjizat-Nya. Dan mukjizat tersebut sebagai legalisasi dari Allah yang menyiratkan firman-Nya yang berbunyi: "Telah benar hambaku pada setiap apa yang mereka sampaikan dari Aku". وَ صَـدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ
 "Dan benarlah Rasul-rasul-Nya". )QS. Yasin:52(
3.         Tabligh
Mengajarkan syari'at kepada umatnya termasuk sifat wajib bagi para rasul agar menunjukkan umatnya pada jalan kebahagiaan dan keharmonisan di dunia dan akhirat, kecuali hal-hal yang memang wajib disimpan dari makhluknya. Dan jika para rasul tidak mempunyai sifat tabligh maka mereka akan dilaknat oleh Allah. Dalilnya adalah:
يَأُيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ.
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan )apa yang diperintahkan itu( berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya". )QS. An-Nisa': 67(
4.         Amanah
Yakni para rasul terjaga dari tergelincir dalam perbuatan yang haram dan makruh secara dhohir dan batin seperti perbuatan zina, dusta, minum khomer atau dengki, riya' dan cinta dunia. Sebagai buktinya adalah jika seandainya para rasul tidak bersifat amanah dalam arti berkhiyanat dengan melakukan perkara haram atau makruh, maka kitapun sebagai umatnya tentu juga akan diperintah untuk melakukan hal itu. Nash dalam al-Qur'an surat ad-Dukhan ayat 18 yang berbunyi:
إِنِّيْ لَكُمْ رَسُوْلٌ أَمِيْنٌ
"Sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang dipercaya kepadamu ".

VIII.SIFAT MUSTAHIL PARANABI & RASUL.
Adapun sifat mustahil bagi para rasul juga ada empat, yakni:
1.         Baladah )dungu/bodoh(
2.         Kadzib )dusta(, menginformasikan sesuatu yang tidak sesuai dengan realita yang ada.
3.         Kitman )menyimpan wahyu(, menyembunyikan sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah agar disampaikan kepada seluruh umatnya. Walaupun dalam keadaan lupa )sahwu(, karena tidak mungkin para nabi lupa dalam menyampaikan risalah yang dibawa dari tuhannya.
4.         Khiyanat )tidak menjaga diri(, dengan mengerjakan perkara yang haram, makruh ataupun Khilaful Aula. Jadi sebenarnya para nabi tidak pernah mengerjakan mubah ataupun makruh kecuali ada motif Tasyri' )syari'at( atau Bayan )penjelasan(.

IX.       SIFAT JAIZ PARA NABI & RASUL.
Kesempurnaan aka'id lima puluh adalah sifat JAIZ bagi para utusan, yaitu kebolehan terjadinya sifat-sifat kemanusiaan dengan mereka yang tidak sampai menghantarkan pada kekurangan pangkat/martabat mereka yang mulia. Maka boleh saja para utusan mengalami apa yang terjadi pada manusia umumnya seperti lapar, haus, ngantuk, makan, minum, gembira, susah, sehat, sakit, kehidupan, kematian dan lain sebagainya. Akan tetapi jika sampai terjadi kekurangan pada derajat/martabat pada mereka seperti: bisu, tuli, buta, pincang, dan sejenisnya maka hukumnya adalah MUSTAHIL.

X.        KESIMPULAN
Konklusi dari keseluruhan akidah diatas tercover dalam kalimat:
لَا إِلهَ إِلَا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
"Tiada tuhan melainkan Allah, Nabi Muhammad utusan Allah".
Sebab arti dari ketuhanan itu adalah "tidak pernah butuh pada yang lain dan senantiasa dibutuhkan oleh yang lain". Maka arti "Tiada tuhan melainkan Allah" adalah tak ada satupun yang tidak butuh pada yang lain dan senantiasa dibutuhkan oleh yang lain kecuali Allah Ta'ala. Dengan menggunakn arti tidak pernah butuh pada yang lain, berarti Allah memilik sifat wajib wujud, qidam, baqa', mukholafah lil hawadits, qiyamuhu bin nafsi dan Maha Suci Allah dari segala macam bentuk kekurangan. Termasuk juga Allah wajib memilik sifat sama', bashar dan kalam. Sebab bila sifat-sifat ini tidak terdapat pada Allah, maka Allah butuh pada subyek lain yang menciptakan-Nya, tempat atau subyek penyelamat dari kekurangan-kekurangan itu. Bagaimana hal itu terjadi, pada hal Allah tidak pernah membutuhkan pada yang lain. Maka ungkapan "maka Allah akan butuh, dan seterusnya ", jelas tidak benar. Bila saja Allah terdorong oleh faktor-faktor tersebut berarti Allah masih butuh pada sesuatu yang lain untuk merealisasikan kepentingan atau tujuan-Nya. Dari situ juga bisa disimpulkan bahwa Allah SWT tidak harus berbuat sesuatu kemungkinan apapun atau tidak. Sebab bila Allah harus berbuat sesuatu yang bukan mumkinat atau mustahil melakukannya )contoh(; Allah harus memberi pahala untuk amal baik seseorang, maka berarti Allah masih dikategorikan butuh atau tergantung pada faktor lain )outsider( tersebut, artinya Allah bisa terpengaruh oleh sesuatu di luar diri-Nya agar bisa optimal eksistensinya sebagai tuhan. Sedangkan dari ungkapan bahwa segala sesuatu butuh kepada Allah, dapat dirumuskan bahwa Allah mempunyai sifat hayat,iradat, qudrat dan 'ilmu secara absolut. Karena bila salah satu dari sifat-sifat tersebut tidak terdapat pada Allah, maka tidak akan ada bentuk ciptaan raya ini. Sementara indera dan logika kita menjadi saksi akan fakta bahwa segala bentuk ciptaan ini adalah nyata dan riil. Hal ini sekaligus mewajibkan sifat wahdaniyah bagi Allah. Why? Sebab bila ada pihak atau subyek kedua dalam ketuhanan, maka jelas subyek kedua itu tidak butuh kepada-Nya, karena keduanya sama-sama memiliki kelemahan. Dari uraian di atas maka jelaslah bagi kita bahwa kalimat "La Ilaha Illa Allah" memiliki kandungan tiga hal yang harus dimengerti oleh orang mukallaf mengenai seputar kebenaran bagi Allah SWT, yaitu sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah.
            Pengertian kalimat "Muhammadur Rasulullah" secara implisit termasuk didalamnya iman kepada para utusan, malaikat, kitab dan hari akhir. Karena  Nabi Muhammad membawa rukun iman yang harus disampaikan kepada umatnya, serta hal-hal yang berkaitan erat dengan Ketuhanan, Kenabian. Yang sudah barang tentu terkandung didalamnya pengertian sifat wajib, jaiz dan mustahil bagi para nabi dan rasul.
 

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.