Hadratussyekh Kiyai Aly Baqir adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Terlampau banyak jasa-jasanya bagi bangsa ini bersama segenap pejuang dari luar dan dan dalam, terutama dari lingkungan pondok pesantren, sampai beliau rela mengorbankan segenap jiwa dan raga bahkan beliau menerima dengan ikhlas penyakit yang dideritanya akibat kejamnya siksaan agresor Belanda yang tak kunjung sembuh hingga akhir hayatnya.
Kiyai Aly Baqir adalah putra kedua al-Marhum Hadratussyekh KH. Badar yang dilahirkan pada tahun 1923 M. Semasa muda, beliau menuntut ilmu agama di Rembang-Jawa Tengah kepada KH. Bisri. Tidak begitu lama beliau menimba ilmu dikarenakan tuntutan perjuangan, dimana para pemuda harus menjadi pilar utama bagi terwujudnya sebuah kemerdekaan di bumi pertiwi yang tercinta ini. Sepulang dari pondok beliau bergabung dengan barisan Veteran A yang tergabung dalam pasukan Hizbulloh.
Seseorang berani berjuang juga pastinya berani berkorban, jiwa, raga dan harta. Walaupun juga banyak orang-orang yang mempunyai jiwa pejuang tetapi tidak mau berkorban. Banyak pengorbanan Kiyai Ali Baqir untuk menggapai misinya dalam merebut kembali bumi pertiwi dari orang-orang kafir belanda. Pada saat agresi belanda muncul kembali untuk yang kedua kalinya, termasuk Kiyai Ali Baqir, beberapa Kiyai Besuk yang lain ditangkap tentara penjajah di saat keluarga Besuk berkumpul melakukan tasyakkuran walimatul hitan (selamatan sunat), mereka di antaranya adalah Kyai Masyhadi, kyai Mas Ahmad Zahid dan kyai Mas Mahfudh. Dalam kaadaan tidak siap dan terlalu mendadak tentara Belanda menyerang dan mengepung Besuk, karena memang waktu itu Belanda mempunyai mata-mata, penghianat yang menjadi musuh dalam selimut. Semuanya diseret dan dijebloskan ke penjara Pleret. Mereka para pejuang yang tertangkap disiksa, dianiaya, bahkan kadang-kadang dibunuh, termasuk di antaranya yang disiksa secara tidak manusiawi adalah Kiyai Ali Baqir, beliau dipukul betisnya, punggungnya hingga luka parah dan membengkak, setelah puas mereka menyiksa, beliau dibiarkan sendiri meratapi sakit akibat siksaan, yang lebih memprihatikan lagi mereka melakukan itu bukan hanya sekali saja, namun setelah beliau merasa baikan dengan dirinya mereka melakukannya kembali, sampai berkali-kali. Dengan ikhlas beliau menerima beban rasa sakit akibat siksaan Belanda demi sebuah misi perjuangan hingga akhir hayatnya. Akhirnya pada satu kesempatan di dalam penjara, kyai Mas Aly Baqir yang sekarat akibat siksaan Belanda beserta Kyai Masyhadi, kyai Mas Ahmad Zahid, kyai Mas Mahfudh, dan sebagian pejuang yang lain berhasil keluar dari penjara.
Walau para pejuang itu telah berhasil meloloskan diri, namun tentara penjajah tak henti-hentinya memburu Kiyai Ali Baqir yang masih dalam keadaan sakit, beliau pun akhirnya pergi ke Bareng Kudus Jawa Tengah, tepatnya menuju ke ndalem Mbah Yasin yang merupakan kakak dari Abahnya (KH. Badar), dengan hati yang sangat berat beliau meninggalkan Besuk setelah beliau ditinggal wafat oleh kakak iparnya KH. Masyhadi yang menjadi syuhada' karena tertembak waktu hendak meloloskan diri dari penjara Pleret.
Selama kurang lebih satu bulan beliau meninggalkan Besuk karena kejaran belanda, sementara beliau mengalami sakit yang dideritanya, kurang lebih selama 15 tahun kaki beliau membengkak akibat siksaan tentara yang tidak pernah belajar tata krama itu. Pihak medis mengatakan bahwa penyakit beliau sangatlah langka, pada waktu itu se-Indonesia hanya ditemukan sedikitnya tiga orang yang terkena penyakit seperti penyakitnya Kiyai Ali Baqir. Sungguh besar pengorbanan beliau demi kemerdekaan bumi pertiwi kita ini. Semoga akan lebih meningkatkan derajat beliau di sisi-Nya, amien.
Setelah agresi Belanda kedua berakhir dan semua pasukan sekutu sudah terusir pada tahun 1948 beliau dilantik menjadi BPH (Badan Pemerintah Harian) Kabupaten Pasuruan dari partai NU (BPH adalah jabatan sebagai dewan wakil rakyat tingkat daerah, kalau sekarang adalah DPRD) beliau tergolong anggota BPH termuda, yakni dalam usia ke 28 tahun, beliau menjabat sebagai bendahara fraksi. Beliau ditunjuk menjadi BPH waktu itu karena pemerintah kabupaten Pasuruan meminta agar NU mencari orang pintar untuk menjabat sebagai dewan wakil rakyat, begitu antusiasnya pemerintah dulu terhadap organisasi yang sangat berjasa akan kemerdekaan negara kita ini. Karena kegigihannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia nama beliau juga sempat dimasukkan dalam daftar tentara Indonesia. Kemudian diusianya yang ke 32 tahun (1955 M.) beliau menyunting gadis kota dingin Pasir-Malang yang bernama Asiyah. Dari pernikahannya membuahkan 5 keturunan; satu putri dan empat putra.
Di tengah kesibukannya menjadi anggota legilatif setelah terusirnya komplotan-komplotan agresor penjajah, dengan segala keterbatasan karena penyakit yang dideritanya, beliau masih sempat dan tetap eksis menata kembali kegiatan belajar mengajar di Pondok Besuk yang sempat terhenti, dan mengurus pondok Besuk membantu al-Maghfurlah KH. Achmad Djufri sang pengasuh pada usia beliau yang amat muda tepatnya sejak tahun 1947 M. Bahkan beliau termasuk keluarga besuk yang mempunyai inisiatif mencanangkan pendidikan lanjutan dari tingkat ibtida'iyyah, guna memberi wadah bagi para santri yang masih haus akan pengajaran ilmu para masyayikh. Akhirnya Pondok Pesantren Besuk bisa melangkah lebih progresif dengan berdirinya madrasah lanjutan madrasah Mu'allimin pada tahun 1967 M.
Selain di Besuk beliau juga masih mempunyai jiwa pejuang untuk nasyrul ilmi sebagai pengajar di Madrasah NU di Bangilan bersama KH. Achmad Djufri, bahkan walaupun beliau menderita sakit yang amat parah, beliau juga masih eksis memenuhi undangan pengajian ke seluruh plosok daerah dan beliau masih aktif menghadiri rutinannya ke Bondowoso bersama KH. Sa'dulloh Sidogiri.
Robithoh Ma'ahidil Islamiyyah atau yang dikenal dengan RMI yang didirikan untuk mempersatukan ikatan Pondok Pesantren NU, merupakan organisasi yang dirintis oleh beliau Kiyai Ali Baqir bersama dengan KH. Achmad Siddiq Jember dan KH. Mahrus Ali Lirboyo yang didirikan tepatnya di ndalem beliau di Besuk (Ndalemnya mas Muhib), bahkan pada malam pendirian organisasi yang berada di naungan Nahdlatul Ulama' (NU) itu KH. Achmad Siddiq sempat menginap di ndalem beliau. Pada suatu saat setelah nama RMI menjadi salah satu nama organisasi besar di NU, pengurus-pengurusnya yang mayoritas adalah para alim 'ulama' mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Sidogiri dan kebetulan beliau menjabat sebagai ketua konsulatnya. Tidak ada satu rupiah pun yang bisa mengantarkan beliau menghadiri pertemuan itu, dengan kesana kemari beliau mencari pinjaman uang, sementara kondisi fisiknya sangat memprihatinkan, demi melanjutkan perjuangan membentengi kemerdekaan negara Republik Indonesia yang dengan susah payah direbut dengan keberadaanya organisasi ikatan Pondok Pesantren tersebut.
Selain itu, beliaupun masih menyempatkan untuk mengabdikan diri menjadi pengurus PC NU Pasuruan. Semakin lama penyakit yang diderita beliau semakin parah, penyakit yang suka datang dan pergi (kumat-kumaten) itu rupanya tidak mau pergi lagi hingga beliau hanya bisa berbaring di tempat tidur selama kurang lebih tiga tahun. Dan di usianya yang ke 50 pada tahun 1973 M. Nampaknya sang pejuang sejati itu sudah letih hingga beristirahat untuk selamanya pada hari Kamis Malam Jum'at tanggal 26 bulan Dzul Qo'dah. Inna lillahi wa’inna ilaihi raji’un. Semoga budi baiknya dan perjuangan sucinya serta pengorbanannya senantiasa menyertahi di pangkuan Ilahi Robbi meraih maghfiroh dan ridloNya mendapat tempat mulia di sisiNya. Amin ya Robbal Alamin.