Fenomena wanita berkarir sebenarmya bukanlah fenomena yang baru muncul, melainkan sejak zaman awal diciptakannya manusia. Hanya cara dan istilahnya yang berbeda pada masing masing zaman. Dan hal yang perlu diperhatikan oleh kita semua khususnya para Muslimah terkait fenomena tersebut adalah tentang bagaimana karir wanita dalam pandangan Islam. Gejolak tentang karir wanita dan wanita karir dewasa ini semakin hangat, juga di negara Indonesia yang kita cintai ini. Banyak kalangan yang serius mencurahkan perhatiannya akan masalah ini, termasuk juga komunitas yang menamakan diri mereka kaum Feminis dan pemerhati wanita.
Perempuan merupakan korban dari sistem yang tidak manusiawi, Kapitalisme yang menumbuh suburkan paham feminisme dan emansipasi membuat banyak kaum perempuan yang “terpaksa” berlomba–lomba meninggalkan rumahnya dan bersaing dengan partnernya, pelindungnya, atau laki–laki untuk mendapatkan sedikit rupiah, atau bahkan hanya karena ingin mengukir jasa. Penyebabnya adalah masyarakat telah terlanjur menganggap kemuliaan dan derajat seseorang merupakan sesuatu yang ditentukan oleh setumpuk karir yang dia jalani. Dialam bawah sadarnya pun, masyarakat perlahan tapi pasti mulai tidak lagi membedakan peran antara laki–laki dan perempuan. Perempuan dan laki–laki sama–sama dituntut untuk berperan di ranah publik dengan peran yang sama besarnya.
Jika ingin “dipandang” di tengah masyarakat, maka laki–laki maupun perempuan harus memiliki peran yang besar di ruang publik, dan tentu bukan sembarang peran, melainkna peran yang mampu mendatangkan materi yang melimpah, simple-nya harus memilki karir yang bagus. Sedangkan peran di ranah domestic, sebesar apa pun peran itu, tetap dipandang sebelah mata, bahkan terkadang sama sekali tidak dipandang. Padahal besar sekali kerugian yang ada ketika seorang perempuan lebih memilih untuk berkarir di ruang public. Padahal semulya apapun karir seorang perempuan di ruang public, tetap tidak akan menandingi kemulyaannya dalam berkarir di domestic.
Karir itu bukan hanya sibuk di public dengan menjadi Guru, PNS, Pemimpin atau terjun didunia politik. Ketahuilah! bahwa kesibukan dirumah juga merupakan karir bagi perempuan. Perbedaannya hanyalah terletak pada seberapa orang memandang dan seberapa besar uang yang didapatkan. Memang berkarir dirumah hanya dipandang sebelah mata tapi tidak `indallah, justru perempuan yang berkarir di istananya sendiri dialah perempuan – perempuan mulya yang kata agama merupakan `imadul bilad (tiangnya agama). Namun sayang, saat ini hal semacam ini hanya dipandang sebagai deskriminasi perempuan yang dituduhkan pada agama islam.
Hai Muslimah ?
Islam, dengan menjadikan engkau hanya hidup di dalam rumah, mengharuskan keluar dengan izin ortu atau suami, melarang perempuan keluar sendiri apalagi bekerja adalah merupakan bentuk penghormatan besar yang Allah hadiahkan untuk perempuan. Mungkin hal ini sulit diterima oleh perempuan. Namun ini benar. Mengapa demikian?
Tahukah engkau hai muslimah?
Islam dengan hokum-hukumnya ingin menjadikan muslimah sebagai seorang putri. Oleh karena itu, islam berikan hukum demikian. Tak ada satupun seorang putri yang keluar tanpa izin, tak ada satupun seorang putri yang keluar sendiri tanpa dikawal dan bahkan tak ada satupun seorang putri yang bekerja keras.
Muslimah!!!!!
Masihkah engkau ingin mengatakan islam tidak adil padahal islam tidak rela engkau kecapekan, masihkah engkau mengelu-elukan emansepasi padahal islam tidak ingin engkau stres, dan masihkah engkau menuntut kesetaraan gender padahal islam ingin engkau dilindungi dan disayangi. Islam sama sekali tidak rela jika ada muslimah yang keleleran disana-sini. Islam ingin memberikan penghormatan dan penghargaan terbesar untuk seorang perempuan dengan cara ia hanya berada didalam istanya. Seorang perempuan – perempuan islam adalah bagaikan berlian yang tidak akan mungkin ditaruh disembarang tempat yang tidak akan mungkin tidak berada dalam pengawasan si empunya.
Di sini saya tidak berdiri sebagai pihak yang melarang perempuan berperan di ranah publik, saya tidak melarang perempuan berkarir, apalagi mengharamkannya. Tidak sama sekali. Berkarir di ruang publik bagi seorang perempuan, hukum asalnya adalah mubah jika serangkaian “syarat dan ketentuannya” telah dipenuhi. Sesuatu yang mubah ya seharusnya ditempatkan sebagaimana posisinya mubah. Pelaksanaan sesuatu yang mubah tidak boleh mengorbankan sesuatu yang sunnah, apalagi wajib. Demikian juga, pelaksanaan sesuatu yang mubah tidak boleh mengabaikan adanya sesuatu yang makruh atau haram yang mungkin mengkontaminasi aktivitas mubah itu. Itulah yang ingin saya tekankan.
Karir apapun dan sebanyak berapapun takkan pernah ada nilainya jika tidak ada sedikit waktu yang bisa kita luangkan untuk keluarga kita. Apapun alasannya, atau bahkan semulia apapun menurut pandangan anda karena tanpa kita sadari kita justru mengorbankan orang-orang yang kita sayangi.
Sungguh, Kapitalisme beserta sepaket paham turunannya telah merenggut kehormatan, harga diri dan kemuliaan perempuan. Kapitalisme dan paham turunannya telah membuat lingkungan di sekitar perempuan menjadi lingkungan yang tidak ramah bagi perempuan, bahkan menjadi lingkungan yang tidak aman baginya. Kapitalisme dan paham turunannya pun telah merampas hak anak–anak kita, membuat mereka kehilangan sebagian besar kasih sayang dan perhatian ibunya. Sudah saatnya kita campakkan Kapitalisme beserta seluruh paham turunannya untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan kaum perempuan sekaligus mengembalikan hak anak–anak kita.
KARIR WANITA
Islam telah menegaskan bahwa tugas utama seorang perempuan adalah sebagai ummu wa rabatun bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Sedangkan hak seorang perempuan adalah dilindungi dan dinafkahi. Tugas laki–laki adalah melindungi dan menafkahi perempuan. Sebenarnya perempuan sama sekali tidak punya kewajiban untuk menafkahi dirinya sendiri, apalagi menafkahi keluarganya. Tetapi sayang sekali pemahaman ini seringkali terkalahkan oleh pandangan masyarakat yang telah teracuni oleh paham feminisme dan emansipasi. Akhirnya, banyak perempuan yang lebih memilih untuk berjibaku di ranah publik meski harus mengorbankan sebagian perannya di ranah domestik.
Akibat pandangan masyarakat yang demikian dan dorongan untuk menunjukkan eksistensi diri yang kadang tidak dikendalikan oleh pemahaman yang benar, akhirnya banyak di antara kaum perempuan yang mati–matian mengejar peran di ranah publik meski harus mengorbankan peran utama mereka di domestik. Mereka mengejar karir meski harus mengabaikan peran mereka di ranah domestik ataupun “sekadar” menyerahkan tugas dan peran mereka di ranah domestik kepada orang lain, yang saya yakin, orang diserahi tugas dan peran itu tidak akan mungkin melakukannya sebaik jika perempuan-perempuan itu melakukannya sendiri.
Ingat firman Allah di dalam Al-Qur’an :
وَوَصَّينَا الإِنسٰنَ بِوٰلِدَيهِ حَمَلَتهُ أُمُّهُ وَهنًا عَلىٰ وَهنٍ وَفِصٰلُهُ فى عامَينِ أَنِ اشكُر لى وَلِوٰلِدَيكَ إِلَىَّ المَصيرُ – سورة لقمان١٤
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang, Ibu Bapaknya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14).
Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Agama Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan / karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Permasalahannya adalah terletak pada ketidak bebasan bergerak muslimah ataubahkan kepuasan dan rupiah yang ia kantongi. Lalu, seberapa banyak sih kepuasan dan rupiah yang bisa diraih dengan menjadi guru bagi anak–anak orang lain? Sebandingkah kepuasan dan nilai rupiah itu dengan harga yang harus dibayar ketika anaknya sendiri terabaikan? Iya, saya akui ada kepuasan tersendiri ketika anak didik kita (meskipun itu anak orang lain) menjadi “bintang”, menjadi anak yang cerdas, berprestasi. Tapi bukankah lebih membanggakan jika yang menjadi “bintang”, yang cerdas penuh prestasi adalah anak kita sendiri? Dan bukankah kepuasan menjadikan anak orang lain sebagai “bintang” tidak ada artinya sama sekali jika anak kita sendiri justru miskin prestasi, bahkan tertinggal? Bukankah itu menyedihkan? OK, benar dengan berkarir, meng–“upgrade” anak orang lain, kita bisa mendapatkan sejumlah rupiah tapi cukupkah rupiah itu untuk membayar kerugian karena anak–anak kita menjadi “tertinggal” hanya gara–gara kurangnya perhatian dan bimbingan dari ibunya?
Jangan lagi berdalih “Mengapa harus perempuan? Dan mengapa bukan laki-laki?” Bukan, bukan perempuan memang dan bahkan itu tugas laki-laki. Seorang perempuan boleh menuntut gaji pada suami atas ASI yang ia berikan pada anak-anaknya, atas pekerjaan rumah yang ia lakukan seperti memasak, mencuci dan lain sebagainya. Namun… maukah engkau dikatakan sebagai seorang ibu yang tidak punya hati jika hanya untuk menyusui buah hatinya masih menuntut gaji. Ataukah dikatakan sebagai perempuan yang tidak tahu diri jika hanya untuk membantu pekerjaan suami masih harus dihargai. Lalu mengapa engkau masih ingin berkarya untuk orang lain jika hal ini saja engkau rasa berat?
Hai Ibu !!!!!
Sadarlah! Rangkul anak-anakmu! jangan biarkan mereka menjadi terabaikan hanya karena engkau sibuk dengan orang lain yang prestasi atau ketertinggalannya sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam akhiratmu.
Hai engkau seorang istri!
Jaga kehormatanmu untuk suami, buat ia nyaman dipangkuanmu! Jangan biarkan engkau sibuk dengan partnermu yang kesuksesan atau kegagalnnya tidak ada pengaruhnya dalam agamamu.
Hai Muslimah!
Ingatlah! Bukankah islam mejadikan wanita sebagai perhiasan terindah dunia jika ia mampu menjadi MAR`AH SHALIHAH. Mulailah dari sekarang!