Kiyai Mahrus Ali Lirboyo, adalah figur Ulama yang tak hanya berkecimpung di pesantren. Beliau juga berda'wa di masyarakat luas. Beliau dikenal sebagai penyambung suara rakyat kecil, penuntun bagi aparat negara serta pengayom siapa saja yang datang mengadu padanya. Sehingga patutlah kiranya, jika KH. Muhammad Subadar waktu masih mondok di Lirboyo bercita-cita ingin menapak jejak perjalanan guru beliau KH. Mahrus Ali. Perjalanan ta'allumnya, kiprahnya di NU dan perjuangannya mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Negara sungguh telah menorehkan teladan bagi generasi muda dan terukir sebagai prasasti di hati siapapun yang mengenalnya.
I. Lahir dan Tumbuh di kalangan pesantren
Gedongan, adalah sebuah pedukuhan yang terletak 18 km timur
II. Masa-masa Tholabul Ilmi.
Hari demi hari, minggu berganti minggu bulanpun berjalan sesuai peredarannya, hingga tahunnpun berlalu. Usia Rusydi mulai menginjak remaja dan sudah waktunya lebih giat dan tekun dalam menimba pengetahuan. Ilmu yang yang pertama ia dalami adalah ilmu Al-Qur'an hingga berusia 15 tahun. Barulah kemudian ia mulai belajar kitab Imrithi, Sullam Safinah dan Sullam taufiq. Dalam mempelajari kitab-kitab itu, Rusydi dibimbing sang kakak Kiyai Ahmad Afifi, karena Ayahandanya sudah masuk usia senja hingga keterlibatannya dalam dunia Ta'allum watta'lim mulai berkurang dan banyak mengisi waktu luangnya denga wiridan. Cabang Ilmu yang digemari Rusydi adalah Ilmu Gramatika Arab (Nahwu Shorrof), sebab memang dengan menguasai ilmu itulah, maka cabang Ilmu yang lain akan mudah dikuasai. Sebenarnya Rusydi kecil memiliki kecaerdasan otak yang cemerlang tetapi kecepatannya menghafal pelajaran dinilai masih lamban oleh sang guru yang tak lain adalah kakaknya sendiri itu. Sehingga Rusydi sering kali terpaksa harus menelan pil kemarahan gurunya itu. Berbekal ketabahan, kesabaran, dan ketekunan itu, akhirnya Rusydi berhasil menghatamkan beberapa kitabnya dengan baik.
Setelah berhasil menghatamkan beberapa kitabnya, Rusydi berkeinginan memperluas ladang Ilmunya melalui sumber yang lain. Namun keinginan itu harus kandas, lantaran Ibundanya tidak merestuinya. Apapun alasan sang Ibu, Rusydi-pun tunduk patuh dan mengurungkan niatnya mondok di pesantren lain. Tetap melanjutkan perjalan tholabul Ilmunya di Rumah sediri dan ditemani sepupuhnya sendiri yang bernama Ma'shum putra Kiyai Siroj (adik Nyai Hashinah). Dua remaja ini saling berlomba dan bersaing dalam mengejar ilmu. 1000 bait ilmu Gramatika Arab yang terkenal dengan nama Al-Fiyah menjadi sasaran untuk berkompetisi baik memaham ataupun menghafal. Namun persaingan keduanya tidak berjalan lama, ketika sampai bab 'Alam keduanya mendapat restu untuk mengaji di pesantren lain. Restu sang Ibu yang selama ini didambakan Rusydi akhirnya ia terima.
Tahun 1927 M. waktu ia masih di Pondok Tegal inilah, Rusydi menunaikan ibadah Haji. Di Makkah ia sempat berdebat dengan orang Yaman tentang Nahwu Shorrof. Meski hanya berbekal Al-Fiyah, ia mampu mengungguli orang Yaman tadi. Sebagaimana lazimnya orang
Liburan akhir sanah tiba. Kebetulan Al-fiyah 1000 baitnya juga telah rampung dihatamkan. H. Mahrus pulang kampung guna melepas kerinduannya pada keluarga. Dalam saat yang bersamaan, sepupunya yang menjadi pesaing waktu di Tegal juga di rumah. Pertemuan keduanya dimanfaatkan oleh Kiyai Mukhlas untuk menguji hasil mereka selama belajar di pesantren lain. Namun tanpa di duga, ternyata H. Mahrus kalah dalam menghafal dan memaham Al-fiyah. Kekalahan itu membuat H. Mahrus sangat malu pada keluarganya, Sehingga ia tidak betah tinggal di rumah dan ingin segera meninggalkan kampung halaman untuk kembali merantau mengejar cita-citanya. "Kegagalan bukanlah segala-galanya, tetapi itu adalah keberhasilan yang tertunda" Mungkin itulah cambuk besi yang tertimpa dipunggung H. Mahrus, hingga beliau terdorong untuk berkelana kembali. Kali ini Pondok Kasingan yang dipilih beliau sebagai pelabuhan perjalanannya. Sebuah Pondok yang telah menelorkan tokoh-tokoh sentral Islam dunia pesantren, seperti Kiyai Hamid Pasuruan dan Kiyai Subadar (Ayahanda Kiyai Muhammad Subadar). Setelah dua bulan di Kasingan, H. Mahrus kembali pulang untuk sekedar mengobati rindu sang Bunda yang sejak kepergiannya selalu dirundung nestapa karena kepergian putra tercintanya yang tanpa pamit itu. Rasa keheranan, ternyata keluarga di rumah memandang beliau dengan pandangan yang aneh. Kakak yang dulu sering memarahinya berubah menjadi sangat hormat dan Ma'shum sepupunya yang pernah menyainginya, kini tidak berani bertatap muka dengannya. Seakan telah teranugrahi Ilmu Ladunni, H. Mahrus kini telah menggemparkan tanah kelahirannya. Sinar keilmuan tampak terpancar dari wajah beliau yang penuh harisma. Di pondok Kasingan H. Mahrus menjadi Publik Figur yang disegani. Dan beliau kini menjadi Lurah Pondok (kepala pondok) dan dipercaya untuk membaca beberapa kitab untuk ribuan santri Kasingan kala itu. Kitab yang beliau baca antara lain adalah : Ibnu Aqil, Luma', Sudzurudz-dzahab, Jam'ul Jawami', Mughni Labib dan Taqrib.
Thuluzzaman (masa yang lama) merupakan salah satu syarat mengaji. Demikian halnya H. Mahrus, meski sudah terkenal 'Alim, beliau masih enggan meninggalkan pesantren Kasingan. Padahal puluhan orang yang menginginkan agar beliau bersedia dijadikan suami putri mereka yang tentu saja tidak diragukan lagi kecantikannya. Hingga pada suatu waktu H. Mahrus benar-benar tidak kuasa menolak perjodohannya dengan putri Kiyai Siroj yang tak lain adalah paman beliau sendiri. Dengan segala persiapannya, hari pernikahan pun semakin dekat. Sampai kurang satu hari, H. Mahrus belum juga pulang, hingga membuat keluarga mempelai wanita kebingungan. Kiyai Ma'shum, kakak calon pengantin putri mempunyai gagasan untuk mengganti H. Mahrus dengan orang lain. Akhirnya ditemukan pengganti, yaitu Kiyai Yasin, teman kiyai Ma'shum sewakti mondok di Kempek Palimanan
Setelah
III. Menjadi Kiyai di Lirboyo.
Kealiman H. Mahrus membuat Kiyai Abd. Karim sangat menginginkan beliau untuk masuk menjadi keluarga besar Lirboyo. Keinginan itu tercapai ketika beliau dijodohkan dengan salah satu putri Kiyai Abd. Karim yang bernama Neng Zaenab. Namun perjodohan itu tidak langsung diterima. H. Mahrus merasa perlu menawarkan pada Kiyai Kholil, guru beliau di Kasingan. Ketika baru mengetuk pintu dan Salam, Kiyai Kholil sudah dulu menjawab apa maksud kedatangan muridnya tersebut. "Sudahlah…! Kamu diminta gurumu, jangan macam-macam…!" Tutur Kiyai Kholil. H. Mahrus yang masih penasaran itu lantas menyahut "Apa lebih baik diIstikhoro-i dulu Kiyai ?" Mendengar pertanyaan itu Kiyai Kholil lalu menjawab."Apakah Istikhorohmu lebih baik dari pada Istikhoroh gurumu ?" H. Mahrus tidak berani lagi menjawab pernyataan gurunya itu. Walhasil akad nikah-pun dilaksanakan pada tahun 1938 M. oleh Kiyai Ma'ruf Kedunglo Kediri. Setelah resmi menjadi menantu di Keluarga Lirboyo H. Mahrus dipercaya menangani pendidikan di pondok tersebut dan mengajar beberapa kitab pada ribuan santri PP. Lirboyo. Kitab yang beliau baca antara lain Mughni Labib. Uqudul Juman, Fathul Wahhab, dan Shohih Bukhori Muslim. Derngan demikian Kiyai Abd. Karim mempunyai dua menantu yang membantunya mengurus ribuan santri Lirboyo kala itu, yaitu KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Ali.
Kiprah KH. Mahrus Ali dalam dunia pendidikan saangatlah besar, hingga pada akhirnya beliau mempelopori berdirinya Universitas Islam Tribakti (UIT) pada tanggal 11 Rojab 1386 H./25 Oktober 1966 M. Dan pada tahun 1970 UIT mendapat status diakui dengan SK Menteri Agama RI No 178/170 dan diperkenankan mengikuti Ujian Sarjana Muda.
IV. KH. Mahrus Ali dalam Jam'iyyah NU.
NU adalah Ormas Islam terbesar di
قل الحق ولو كان مرا
"Berkatalah yang benar, walau itu pahit dirasa"
Beliau dikenal sebagai Kiyai sepuh yang berani dan sigap dalam menyampaikan kritik dan aspirasi rakyat kecil, tanpa memandang siapa yang beliau hadapi. Hingga Presiden Soeharto-pun pernah harus menelan kritik beliau. Tepatnya. Dalam Muktamar NU XXVII dihadapan ratusan muktamirin dengan tegas beliau menyampaikan uneg-uneg beliau yang intinya mengkritik kepemimpinan Soeharto dalam mengemudi Kepemerintahan yang waktu itu sangat menyepelekan Pendidikan Pondok Pesantren, padahal Pondok pesantren sangat banyak berperan dalam mempertahankan kemerdekaan RI, lebih-lebih dalam menumpas Gerakan PKI.
V. Sakit dan Kembali ke Rohmatulloh
Usia KH. Mahrus Ali yang semakin sepuh, kesehatan beliaupun mulai rapuh. Tidak satu penyakit hinggap pada tubuh mulia itu. Diantaranya adalah penyakit Diabetes Melitus, Paru-paru dan Ginjal. Pada suatu malam, 12 Mei 1985 Kiyai Mahrus merasa tidak enak badan. Semakin lama sakit itu semakin parah dirasa. Keluarga segera merujuk beliau ke rumah sakit Bhayangkara Kediri. Setelah empat hari opname, kondisi beliau belum juga menunjukkan hal yang menggembirakan, akhirnya beliau minta pulang dan dirawat jalan di rumah. Pangdam V Brawijaya yang mendengar berita Kiyai Mahrus sakit parah, segera meminta agar beliau dibawa ke RS dr Soetomo Surabaya. mengingat jasa-jasa beliau di Kodam V Brawijaya dan juga beliau masih dibutuhkan dalam menjaga stabilitas Pertahanan Keamanan Negara. Pada Sabtu sore 18 Mei 1985 Kiyai Mahrus yang dalam keadaan koma di bawa ke Surabaya dengan helikopter milik TNI AL yang dikirim atas perintah Panglima ABRI L.B. Moerdani dan diantar putra-putri beliau. Delapan hari beliau di rawat di ruang ICU rumah sakit dr Soetomo, Namun kondisi kesehatan beliau belum juga membaik. Untuk membesuk beliau harus berpakaian steril, termasuk Mentri Agama H. Munawwir Syadzali yang didampingi Dirjen Bimas Islam dan urusan Haji Abd. Qodir Bassalamah. Sekitar dua jam setelah rombongan Mentri Agama meninggalkan rumah sakit, Kiyai Mahrus harus menghembuskan nafas yang terahir " Inna Lillahi wa Inna Lillahi Roji'uun" Beliau kembali ke Rohmatulloh pada hari Ahad 6 Ramadhan 1405/26 Mei 1985. dalam usia 78 tahun. Beribu pelayat segera membanjiri Lirboyo. Rakyat kecil, para elite pemerintah, juga dari Muhammadiyah, entnis Tiong Hoa bahkan dari Agama Kresten turut hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada sang Kiyai Bangsa itu. Kiyai Mahrus bukan hanya milik keluarga, namun beliau adalah milik semua bangsa Indonesia. Mentri Agama memberikan sambutannya atas nama pemerintah, dengan nafas tersengal dan cucuran air mata yang mengiringi isak tangisnya, beliau mengucapkan ribuan terima kasih atas jasa Kiyai Mahrus selama hidupnya pada Agama, Bangsa dan Negara. Bapak Mentri berharap, Kepergian Kiyai Mahrus tidak usah ditangisi, melainkan teruskanlah perjuangan beliau. Kini orang yang besar jasanya itu telah menutup lembaran perjalanannya di dinia fana ini. Beliau wafat 87 hari setelah kemangkatan sang Istri. Meninggalkan 7 orang putra-putri. Jenazah muliau beliau dimakamkan dipemakaman keluarga, belakang Masjid Lirboyo. Beliau pergi meninggalkan goresan kenangan, torehan bakti dan taburan jasa yang haruslah terus kita perjuangkan. Demikian SIRAH singkat KH. Mahrus Ali Lirboyo, Semoga kita sentiasa mendapat cucuran barokah beliau, dan dapat menteladani beliau, hususnya dalam tholabul Ilmi. Amien