Download kitab pdf terlengkap AswajaPedia Klik di sini

KH. Makhrus Aly, Sang Maha Guru Di Pondok Pesantren Lirboyo

 

Kiyai Mahrus Ali Lirboyo, adalah figur Ulama yang tak hanya berkecimpung di pesantren. Beliau juga berda'wa di masyarakat luas. Beliau dikenal sebagai penyambung suara rakyat kecil, penuntun bagi aparat negara serta pengayom siapa saja yang datang mengadu padanya. Sehingga patutlah kiranya, jika KH. Muhammad Subadar waktu masih mondok di Lirboyo bercita-cita ingin menapak jejak perjalanan guru beliau KH. Mahrus Ali. Perjalanan ta'allumnya, kiprahnya di NU dan perjuangannya mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Negara sungguh telah menorehkan teladan bagi generasi muda dan terukir sebagai prasasti di hati siapapun yang mengenalnya.

 

I. Lahir dan Tumbuh di kalangan pesantren

    Gedongan, adalah sebuah pedukuhan yang terletak 18 km timur kota Cirebon. Dikenal sebagai tempat penyimpanan benda-benda kuno peninggalan para Wali. Sejumlah benda berharga tersimpan di dalam gedung yang berdiri di atas tanah seluas 50 bata. Gedung itu sangat terkenal dan banyak dikunjungi orang, sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama Gedong (bahasa Jawa yang berarti gedung). Di pedukuhan inilah pada tahun 1906 KH. Mahrus Aly dilahirkan dengan Nama kecil Rusydi bin Ali. Si kecil Rusydi tumbuh dan hidup dikalangan pesantren, dengan bimbingan dan pengawasan orang-orang yang alim disekitarnya. Kecerdasan dan ketekunannya dalam belajar dan ibadah membuat orang tua dan segenap keluarganya berharap, kelak Rusydi akan menjadi orang besar yang bermanfaat bagi Agama. Kecerdasan dan ketekunan itulah yang membuat kakak-kakaknya sangat menyayanginya. Masing masing ingin turut membesarkannya. Namun Rusydi tidak betah tinggal bersama kakak yang menyayanginya itu. Di Pondok Pesantren Panggung, Tegal dan Singaraja, Indramayu. Rusydi kecil pernah tinggal, namun hanya sebentar kemudian dia kembali pulang dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Di samping itu Rusydi juga anak yang pemberani. Ketika masih berusia 6 tahun ia sudah minta di hitan, padahal waktu itu pada umumnya anak berani di hitan ketika menginjak usia 8 tahun. Setelah di hitan bersama kakaknya yang berusia 10 tahun, Rusydi mulai menampakkan kelebihannya sebagai pertanda kelak ia menjadi panutan yang disegani kawan ataupun lawan. Oleh teman-temannya ia selalu dijadikan yang terdepan, karena ia mampu menyelesaikan berbagai masalah yang sedang dihadapi. Ia juga sering menjuarai permainanyang digemari teman-teman sebayanya. Ia juga di kenal rapi dalam berpakaian, sederhana dan ramah tamah. Keberanian Rusydi juga sering membuat keluarganya cemas. Semisal, saat ia ingin mengendarai sepeda pancal, ia melihat sepeda dipinggir jalan, tampa banyak pikir ia langsung mengambil dan menaikinya kemana-mana. Ternyata sepeda tersebut milik Mandor tebu Belanda yang ditakuti waktu itu. Pernah juga dari Indramayu ke Gedongan dia naik sepeda pancal endirian. Padahal jarak yang ditempuhnya sekitar 68 km. Di samping gemar bersepeda, Rusydi juga jago bersepak bola.  Namun bukan berarti waktu kecilnya ia lewatkan hanya dengan bermain. Ia sangat giat dan rajin belajar bahkan ia juga rajin membantu pekerjaan sang ibu, dan pekerjaan yang biasanya dilakukan Khodam.

 

II. Masa-masa Tholabul Ilmi.

Hari demi hari, minggu berganti minggu bulanpun berjalan sesuai peredarannya, hingga tahunnpun berlalu. Usia Rusydi mulai menginjak remaja dan sudah waktunya lebih giat dan tekun dalam menimba pengetahuan. Ilmu yang yang pertama ia dalami adalah ilmu Al-Qur'an hingga berusia 15 tahun. Barulah kemudian ia mulai belajar kitab Imrithi, Sullam Safinah dan Sullam taufiq. Dalam mempelajari kitab-kitab itu, Rusydi dibimbing sang kakak Kiyai Ahmad Afifi, karena Ayahandanya sudah masuk usia senja hingga keterlibatannya dalam dunia Ta'allum watta'lim mulai berkurang dan banyak mengisi waktu luangnya denga wiridan. Cabang Ilmu yang digemari Rusydi adalah Ilmu Gramatika Arab (Nahwu Shorrof), sebab memang dengan menguasai ilmu itulah, maka cabang Ilmu yang lain akan mudah dikuasai. Sebenarnya Rusydi kecil memiliki kecaerdasan otak yang cemerlang tetapi kecepatannya menghafal pelajaran dinilai masih lamban oleh sang guru yang tak lain adalah kakaknya sendiri itu. Sehingga Rusydi sering kali terpaksa harus menelan pil kemarahan gurunya itu. Berbekal ketabahan, kesabaran, dan ketekunan itu, akhirnya Rusydi berhasil menghatamkan beberapa kitabnya dengan baik.

Setelah berhasil menghatamkan beberapa kitabnya, Rusydi berkeinginan memperluas ladang Ilmunya melalui sumber yang lain. Namun keinginan itu harus kandas, lantaran Ibundanya tidak merestuinya. Apapun alasan sang Ibu, Rusydi-pun tunduk patuh dan mengurungkan niatnya mondok di pesantren lain. Tetap melanjutkan perjalan tholabul Ilmunya di Rumah sediri dan ditemani sepupuhnya sendiri yang bernama Ma'shum putra Kiyai Siroj (adik Nyai Hashinah). Dua remaja ini saling berlomba dan bersaing dalam mengejar ilmu. 1000 bait ilmu Gramatika Arab yang terkenal dengan nama Al-Fiyah menjadi sasaran untuk berkompetisi baik memaham ataupun menghafal. Namun persaingan keduanya tidak berjalan lama, ketika sampai bab 'Alam keduanya mendapat restu untuk mengaji di pesantren lain. Restu sang Ibu yang selama ini didambakan Rusydi akhirnya ia terima. Tampamenunggu waktu lama ia-pun langsung berangkat ke sebuah pesantren di daerah Panggung, Tegal. Sebuah pesantren besar yang diasuh oleh Kyai Mukhlas, suami Nyai Muslihah (kakak ke empat Rusydi). Betapa gembiranya Nyai Muslihah, akan tinggal bersama adik tercinta. Namun, tidak seperti yang dibayagkan, ternyata Rusydi tidak mau tinggal di Ndalem, ia lebih memilih tinggal dipondok. Ia sadar, bahwa kedatangannya ke tempat itu semata untuk belajar mengaji, bukanlah untuk bermanja-manja pada kakaknya yang kaya dan tak punya anak itu. Rusydi tidak pernah pulang kampung kecuali ada sesuatu yang sangat penting, sekalipun pada waktu liburan. Disela penuhnya kegiatan ta'allum, terkadang Rusydi melemaskan otot otaknya dengan bermain sepak bola kegemarannya. Di samping itu juga ia sedikit mempelajari Ilmu bela diri Pencak Silat. Beliau mempunyai dua guru silat, yaitu Kiyai Balya Tegalgubug Cirebon dan Kiyai Muslim Wotbogor, Sibgaraja, Indramayu.

Tahun 1927 M. waktu ia masih di Pondok Tegal inilah, Rusydi menunaikan ibadah Haji. Di Makkah ia sempat berdebat dengan orang Yaman tentang Nahwu Shorrof. Meski hanya berbekal Al-Fiyah, ia mampu mengungguli orang Yaman tadi. Sebagaimana lazimnya orang Indonesia, setiap pulang dari Ibadah Haji, akan mendapat gelar al-Haaj dan terkadang berganti nama. Begitu halnya Rusydi, sepulangnya dari tanah suci nama Rusydi lalu diganti dengan H. Mahrus Ali.

Liburan akhir sanah tiba. Kebetulan Al-fiyah 1000 baitnya juga telah rampung dihatamkan. H. Mahrus pulang kampung guna melepas kerinduannya pada keluarga. Dalam saat yang bersamaan, sepupunya yang menjadi pesaing waktu di Tegal juga di rumah. Pertemuan keduanya dimanfaatkan oleh Kiyai Mukhlas untuk menguji hasil mereka selama belajar di pesantren lain. Namun tanpa di duga, ternyata H. Mahrus kalah dalam menghafal dan memaham Al-fiyah. Kekalahan itu membuat H. Mahrus sangat malu pada keluarganya, Sehingga ia tidak betah tinggal di rumah dan ingin segera meninggalkan kampung halaman untuk kembali merantau mengejar cita-citanya. "Kegagalan bukanlah segala-galanya, tetapi itu adalah keberhasilan yang tertunda" Mungkin itulah cambuk besi yang tertimpa dipunggung H. Mahrus, hingga beliau terdorong untuk berkelana kembali. Kali ini Pondok Kasingan yang dipilih beliau sebagai pelabuhan perjalanannya. Sebuah Pondok yang telah menelorkan tokoh-tokoh sentral Islam dunia pesantren, seperti Kiyai Hamid Pasuruan dan Kiyai Subadar (Ayahanda Kiyai Muhammad Subadar). Setelah dua bulan di Kasingan, H. Mahrus kembali pulang untuk sekedar mengobati rindu sang Bunda yang sejak kepergiannya selalu dirundung nestapa karena kepergian putra tercintanya yang tanpa pamit itu. Rasa keheranan, ternyata keluarga di rumah memandang beliau dengan pandangan yang aneh. Kakak yang dulu sering memarahinya berubah menjadi sangat hormat dan Ma'shum sepupunya yang pernah menyainginya, kini tidak berani bertatap muka dengannya. Seakan telah teranugrahi Ilmu Ladunni, H. Mahrus kini telah menggemparkan tanah kelahirannya. Sinar keilmuan tampak terpancar dari wajah beliau yang penuh harisma. Di pondok Kasingan H. Mahrus menjadi Publik Figur yang disegani. Dan beliau kini menjadi Lurah Pondok (kepala pondok) dan dipercaya untuk membaca beberapa kitab untuk ribuan santri Kasingan kala itu. Kitab yang beliau baca antara lain adalah : Ibnu Aqil, Luma', Sudzurudz-dzahab, Jam'ul Jawami', Mughni Labib dan Taqrib.

  Thuluzzaman (masa yang lama) merupakan salah satu syarat mengaji. Demikian halnya H. Mahrus, meski sudah terkenal 'Alim, beliau masih enggan meninggalkan pesantren Kasingan. Padahal puluhan orang yang menginginkan agar beliau bersedia dijadikan suami putri mereka yang tentu saja tidak diragukan lagi kecantikannya. Hingga pada suatu waktu H. Mahrus benar-benar tidak kuasa menolak perjodohannya dengan putri Kiyai Siroj yang tak lain adalah paman beliau sendiri. Dengan segala persiapannya, hari pernikahan pun semakin dekat. Sampai kurang satu hari, H. Mahrus belum juga pulang, hingga membuat keluarga mempelai wanita kebingungan. Kiyai Ma'shum, kakak calon pengantin putri mempunyai gagasan untuk mengganti H. Mahrus dengan orang lain. Akhirnya ditemukan pengganti, yaitu Kiyai Yasin, teman kiyai Ma'shum sewakti mondok di Kempek Palimanan Cirebon. Sebenarnya H. Mahrus sama sekali tidak melupakan janjinya dan sedikitpun tak ada niat untuk mengingkari kesediaannya untuk menikah. Hari itupun segera beliau pulang. Namun ditengah jalan beliau bertemu Kiyai Ma'shum dan Kiyai Yasin yang tengah mempersiapkan diri untuk menggantikannya sebagai mempelai putra. Beliaupun akhirnya kembali lagi ke pondok dengan gembira karena pernikahan yang menghalangi beliau untuk terus mengais mutiara ilmu, ternyata sudah digantikan orang lain. Semakin jauh beliau mengejar Ilmu, semakin kurang pula rasanya ilmu yang telah didapatkan.

Setelah lima tahun nyantri di Kasingan, H. Mahrus berkeinginan untuk meneruskan perjalanannya di pesantren lain, Tentu bukanlah hal yang mudah mencari seorang guru yang kapasitas keilmuannya lebih tinggi dari pada beliau. Hingga akhirnya belia mantap untuk berguru di LIRBOYO, pada Kiyai Abd. Karim yang terkenal 'Alim Nahwu Shorrof.. Ketekunan H. Mahrus dalam tholabul Ilmi sangat patut diacungi jempol dan haruslah menjadi Panutan bagi generasi muda pecinta Ilmu. Jiwa mengabdi beliau pada pondok juga sangat besar, sehingga waktu ada kabar melalui telegram, bahwa sang Ibu sedang sakit keras, beliau tetap tidak pulang karena sedang istighol dengan ilmu. Sampai datang telegram yang ketiga, barulah beliau sowan pada Kiyai Abd. Karim, berpamitan untuk pulang. Sebelum pulang beliau diijazahi membaca surat Al-fatihah sebanyak 41 kali dan kemudian ditiupkan pada ubun-ubun Ibunya yang sudah menghadapi Sakarotul Maut. Setelah ijazah itu diamalkan, Alloh Subhanahu wata'ala mengabulkan niat beliau dan sang Ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang dipangkuan putra kesayangannya itu. Sedang Ayahanda beliau wafat ketika beliau ada di pondok Lirboyo. Saat itu H. Mahrus tidak pulang meski mendengar ayahandanya wafat. Cukuplah do'a dari putra yang sedang beribadah mencari ilmu, yang mengantar sang Ayah ke Rohmatulloh. Begitulah H. Mahrus, bila telah membuka kitab beliau seakan lupa segalanya.


III. Menjadi Kiyai di Lirboyo.

Kealiman H. Mahrus membuat Kiyai Abd. Karim sangat menginginkan beliau untuk masuk menjadi keluarga besar Lirboyo. Keinginan itu tercapai ketika beliau dijodohkan dengan salah satu putri Kiyai Abd. Karim yang bernama Neng Zaenab. Namun perjodohan itu tidak langsung diterima. H. Mahrus merasa perlu menawarkan pada Kiyai Kholil, guru beliau di Kasingan. Ketika baru mengetuk pintu dan Salam, Kiyai Kholil sudah dulu menjawab apa maksud kedatangan muridnya tersebut. "Sudahlah…! Kamu diminta gurumu, jangan macam-macam…!" Tutur Kiyai Kholil. H. Mahrus yang masih penasaran itu lantas menyahut "Apa lebih baik diIstikhoro-i dulu Kiyai ?" Mendengar pertanyaan itu Kiyai Kholil lalu menjawab."Apakah Istikhorohmu lebih baik dari pada Istikhoroh gurumu ?" H. Mahrus tidak berani lagi menjawab pernyataan gurunya itu. Walhasil akad nikah-pun dilaksanakan pada tahun 1938 M. oleh Kiyai Ma'ruf Kedunglo Kediri. Setelah resmi menjadi menantu di Keluarga Lirboyo H. Mahrus dipercaya menangani pendidikan di pondok tersebut dan mengajar beberapa kitab pada ribuan santri PP. Lirboyo. Kitab yang beliau baca antara lain Mughni Labib. Uqudul Juman, Fathul Wahhab, dan Shohih Bukhori Muslim. Derngan demikian Kiyai Abd. Karim mempunyai dua menantu yang membantunya mengurus ribuan santri Lirboyo kala itu, yaitu KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Ali.

Kiprah KH. Mahrus Ali dalam dunia pendidikan saangatlah besar, hingga pada akhirnya beliau mempelopori berdirinya Universitas Islam Tribakti (UIT) pada tanggal 11 Rojab 1386 H./25 Oktober 1966 M. Dan pada tahun 1970 UIT mendapat status diakui dengan SK Menteri Agama RI No 178/170 dan diperkenankan mengikuti Ujian Sarjana Muda.


IV. KH. Mahrus Ali dalam Jam'iyyah NU.

NU adalah Ormas Islam terbesar di Indonesia. Keberadaannya sebagai wadah Islam Ahlussunnah wal Jama'ah tak luput kerena gigih perjuangan para Ulama terdahulu, termasuk KH. Mahrus Ali. Keterlibatan beliau di NU terbukti hingga akhir hayat beliau masih aktif sebagai Ro'is Syuriyah PWNU Jawa Timur. Bersama dengan dua karibnya, KH. Ali Ma'shum dam KH. As'ad Syamsul Arifin, beliau turut mengendalikan putaran roda perjalanan NU. Yang kemudian beliau bertiga dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai. Ketiga tokoh itulah yang berhasil menyelesaikan beberapa konflik ditubuh Organisasi keagamaan NU. Semuanya beliau jalani semata-mata demi kemaslahatan umat dan mengharap Ridho sang Khaliq Alloh SWT. Beliau pernah menyatakan, bahwa jiwa raganya "diwaqofkan" pada Agama dan Negara. Demi bangsa, apapun siap beliau lakukan, termasuk harus berkata jujur mengkritik Aparat Pemerintah. Karena itulah yang seharusnya dilakukan.

قل الحق ولو كان مرا

"Berkatalah yang benar, walau itu pahit dirasa"

Beliau dikenal sebagai Kiyai sepuh yang berani dan sigap dalam menyampaikan kritik dan aspirasi rakyat kecil, tanpa memandang siapa yang beliau hadapi. Hingga Presiden Soeharto-pun pernah harus menelan kritik beliau. Tepatnya. Dalam Muktamar NU XXVII dihadapan ratusan muktamirin dengan tegas beliau menyampaikan uneg-uneg beliau yang intinya mengkritik kepemimpinan Soeharto dalam mengemudi Kepemerintahan yang waktu itu sangat menyepelekan Pendidikan Pondok Pesantren, padahal Pondok pesantren sangat banyak berperan dalam mempertahankan kemerdekaan RI, lebih-lebih dalam menumpas Gerakan PKI.


V. Sakit dan Kembali ke Rohmatulloh

Usia KH. Mahrus Ali yang semakin sepuh, kesehatan beliaupun mulai rapuh. Tidak satu penyakit hinggap pada tubuh mulia itu. Diantaranya adalah penyakit Diabetes Melitus, Paru-paru dan Ginjal. Pada suatu malam, 12 Mei 1985 Kiyai Mahrus merasa tidak enak badan. Semakin lama sakit itu semakin parah dirasa. Keluarga segera merujuk beliau ke rumah sakit Bhayangkara Kediri. Setelah empat hari opname, kondisi beliau belum juga menunjukkan hal yang menggembirakan, akhirnya beliau minta pulang dan dirawat jalan di rumah. Pangdam V Brawijaya yang mendengar berita Kiyai Mahrus sakit parah, segera meminta agar beliau dibawa ke RS dr Soetomo Surabaya. mengingat jasa-jasa beliau di Kodam V Brawijaya dan juga beliau masih dibutuhkan dalam menjaga stabilitas Pertahanan Keamanan Negara. Pada Sabtu sore 18 Mei 1985 Kiyai Mahrus yang dalam keadaan koma di bawa ke Surabaya dengan helikopter milik TNI AL yang dikirim atas perintah Panglima ABRI L.B. Moerdani dan diantar putra-putri beliau. Delapan hari beliau di rawat di ruang ICU rumah sakit dr Soetomo, Namun kondisi kesehatan beliau belum juga membaik. Untuk membesuk beliau harus berpakaian steril, termasuk Mentri Agama H. Munawwir Syadzali yang didampingi Dirjen Bimas Islam dan urusan Haji Abd. Qodir Bassalamah. Sekitar dua jam setelah rombongan Mentri Agama meninggalkan rumah sakit, Kiyai Mahrus harus menghembuskan nafas yang terahir " Inna Lillahi wa Inna Lillahi Roji'uun" Beliau kembali ke Rohmatulloh pada hari Ahad 6 Ramadhan 1405/26 Mei 1985. dalam usia 78 tahun. Beribu pelayat segera membanjiri Lirboyo. Rakyat kecil, para elite pemerintah, juga dari Muhammadiyah, entnis Tiong Hoa bahkan dari Agama Kresten turut hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada sang Kiyai Bangsa itu. Kiyai Mahrus bukan hanya milik keluarga, namun beliau adalah milik semua bangsa Indonesia. Mentri Agama memberikan sambutannya atas nama pemerintah, dengan nafas tersengal dan cucuran air mata yang mengiringi isak tangisnya, beliau mengucapkan ribuan terima kasih atas jasa Kiyai Mahrus selama hidupnya pada Agama, Bangsa dan Negara. Bapak Mentri berharap, Kepergian Kiyai Mahrus tidak usah ditangisi, melainkan teruskanlah perjuangan beliau. Kini orang yang besar jasanya itu telah menutup lembaran perjalanannya di dinia fana ini. Beliau  wafat 87 hari setelah kemangkatan sang Istri. Meninggalkan 7 orang putra-putri. Jenazah muliau beliau dimakamkan dipemakaman keluarga, belakang Masjid Lirboyo. Beliau pergi meninggalkan goresan kenangan, torehan bakti dan taburan jasa yang haruslah terus kita perjuangkan. Demikian SIRAH singkat KH. Mahrus Ali Lirboyo, Semoga kita sentiasa mendapat cucuran barokah beliau, dan dapat menteladani beliau, hususnya dalam tholabul Ilmi. Amien


Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.