Pengertian qurban secara terminologi syara' tidak ada perbedaan, yaitu hewan yang khusus disembelih pada saat Hari Raya Qurban ('Idul Al-Adha 10 Dzul Hijjah) dan hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzul Hijjah) sebagai upaya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.
Dalam Islam qurban disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Saat itu Rasulullah keluar menuju masjid untuk melaksanakan shalat 'Idul Adha dan membaca khutbah `Id. Setelah itu beliau berqurban dua ekor kambing yang bertanduk dan berbulu putih.
Hukum Berqurban
Hukum berqurban adalah sunnah muakkadah bagi kita artinya kesunnahan yang sangat ditekankan namun bagi Rasulullah Saw berqurban adalah wajib sebagai kekhususan beliau.
Kesunnahan tadi terbagi dua ada kalanya sunnah kifayah yaitu bagi tiap-tiap muslim yang sudah baligh, berakal, memiliki kemampuan untuk berqurban dan hidup dalam satu keluarga. Artinya jika ada salah satu anggota keluarga berqurban, maka gugurlah tuntutan untuk berqurban dari tiap-tiap anggota keluarga itu. Namun tentunya yang mendapat pahala qurban adalah khusus bagi orang yang melakukannya.
Dan ada kalanya hukum qurban sunnah 'ain yaitu bagi mereka yang hidup seorang diri, tidak memiliki sanak saudara. Atau dengan kata lain sunnah 'ain adalah sasaran kesunnahannya ditujukan pada indifidu atau personal semata.
Yang dimaksud 'memiliki kemampuan' disini adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk dibuat qurban dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.
Bahkan Imam As Syafi'i berkata, "Saya tidak memberi dispensasi / keringanan sedikitpun pada orang yang mampu berqurban untuk meninggalkannya". Maksud perkataan ini adalah makruh bagi orang yang mampu berqurban, tapi tidak mau melaksanakannya (lihat: Iqna' II/278)
Meskipun hukum qurban adalah sunnah, namun suatu ketika bisa saja berubah menjadi wajib, yaitu jika dinadzarkan. Maka konsekwensinya jika sudah menjadi qurban wajib dia dan keluarga yang dia tanggung nafkahnya tidak boleh mengambil atau memakan sedikitpun dari daging qurban tersebut.
Waktu Pelaksanaan Kurban
Waktu pelaksanaan kurban adalah seusai melakukan sholat Idul Adha, 10 Dzul Hijjah sampai terbenamnya matahari pada akhir hari Tasyriq yaitu 13 Dzul Hijjah. Jadi tersedia waktu selama empat hari.
Sedangkan teknis penyembelihan hewan kurban, orang yang berkurban boleh melakukannya sendiri, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Rasulullah saw. Boleh pula penyembelihannya diwakilkan kepada yang lebih ahli, sebagaimana beliau mengizinkan sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk menyembelih hewan kurban beliau. Dan jika penyembelihan itu diwakilkan kepada orang lain, maka dianjurkan kepada orang yang berkurban untuk menyaksikan proses penyembelihan, sebagaimana perintah Beliau kepada puterinya As Sayyidah Fatimah.
Pembagian kurban.
Daging kurban disyaratkan untuk dibagikan mentah, agar oleh si penerima yang berhak, dapat digunakan sesuka hatinya atau menjualnya. Maka tidak cukup dengan mengundang fakir miskin dan disuguhkan kepada mereka masakan dengan daging kurban tersebut.
Mengenai pembagian daging kurban, asalkan bukan kurban nadzar, maka orang yang berkurban berhak mengambil sebagian daging kurban dan selebihnya dibagikan (disedekahkan) kepada fakir miskin. Sebagian ulama berpendapat, daging kurban didistribusikan menjadi 3 bagian, sepertiga dimakan oleh yang berkurban, sepertiga lagi untuk disimpan oleh yang berkurban dan sepertiga yang lain disedekahkan kepada fakir miskin atau orang lain.
Sementara imam Syafi’I dalam qoul jadidnya berpendapat, sepertiga untuk dimakan sendiri dan dua pertiganya untuk disedekahkan. Adapun salafush shalih mereka menyukai membagi tiga bagian, sepertiga untuk dimakan sendiri, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin dan sepertiga lagi dihadiahkan kepada orang yang kaya.
Sementara menurut pendapat Imam Ibnu Qasim Al Ghizi, yang paling utama adalah menyedekahkan seluruh daging kurban tersebut, kecuali sekedar beberapa suapan saja bagi yang berkurban untuk mendapat keberkahan (At Tabarruk) dengan kurban itu.
Adanya hak orang yang berkurban mengambil daging kurbannya itu tidaklah mengurangi nilai ibadah kurbannya. Oleh karena nilai kurbannya telah terwujud pada proses penyembelihan, penumpahan darah hewan kurban.
Perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah menjual daging kurban sekalipun kulitnya atau memberikan upah berupa sebagian daging kurban kepada orang yang diserahi menyembelih.
Tapi jika kurban itu dinadzarkan, seperti dia mengatakan: “ wajib kepadaku agar aku berkurban untuk Allah”, atau “Aku bernadzar akan berkurban”, atau, “ binatang ini aku jadikan sebagai kurban”, maka dengan kalimat-kalimat itu dia telah dianggap bernadzar atau dengan kata lain menjadi wajib baginya berkurban, dan dalam hal ini, dia tidak boleh nantinya setelah disembelih untuk mengambil bagian dari daging kurbannya sekalipun sedikit, demikian pula tidak boleh mengambilnya orang-orang yang berada dalam tanggungan nafakahnya, seperti anak dan isterinya.
Kesunnahan saat menyembelih
Disunnahkan pada saat menyembelih beberapa hal, diantaranya: membaca basmalah dan sholawat kepada Rasulullah sebelum menyembelih, menghadap ke kiblat dan binatang kurban juga dihadapkan ke kiblat, mengucapkan takbir 3 kali sebelum basmalah atau sesudahnya, seperti dikatakan imam Al Mawardi dan juga disunnahkan untuk berdoa agar kurban tersebut diterima oleh Allah, seperti dia berdoa: “ Ya Allah inilah kurban dariMu dan untukMu, maka terimalah kurban ini”, maksudnya adalah “ Ya Allah binatang kurban ini sebagai nikmat dariMu kepadaku dan aku mendekatkan diriku kepadaMu dengannya maka terimalah ini”
Disunnahkan bagi yang hendak berkurban untuk tidak memotong rambutnya, bulu ketiak dan kukunya pada tanggal 10 Dzul Hijjah sampai dia menyembelih binatang kurbannya.
Binatang yang dikurbankan
Binatang yang dikurbankan adalah ternak tertentu yang telah ditentukan oleh syari’, yaitu kambing, sapi (lembu) dan onta. Satu kambing untuk satu orang, sedangkan satu sapi dan onta cukup untuk 7 orang. Artinya boleh berkurban secara patungan tetapi terbatas untuk sapi dan onta, masing-masing untuk 7 orang. Ini adalah pendapat imam Syafi’I, Ahmad, Sufyan Ats Tsauri dan Ibnul Mubarak, disasarkan pada hadits Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda (yang artinya):
“ Seekor sapi patungan dari tujuh orang dan seekor onta juga patungan dari tujuh orang “.
Dan yang paling utama adalah berkurban dengan onta, kemudian sapi dan kemudian kambing. Onta disyaratkan berumur 5 tahun yang menginjak ke 6 tahun. Sapi berumur 2 tahun yang menginjak ke 3 tahun. Domba (kibas) berumur 1 tahun menginjak ke 2 tahun dan kambing kacang berusia 2 tahun menginjak ke 3 tahun.
Jika dilihat dari warna bulu binatang kurban, maka yang paling utama adalah yang berwarna putih kemudian kuning kemudian cokelat muda (seperti warna tanah) kemudian merah kemudian belang (hitam putih) kemudian hitam.
Juga disyaratkan binatang-binatang tersebut tidak cacat, seperti: salah satu matanya picek yang tampak atau buta, atau kakinya timpang atau pincang yang jelas kepincangannya, atau binatang itu terkena penyakit yang jelas sehingga tampak kurus atau dagingnya rusak karena penyakit itu, atau telinganya putus atau sebagiannya atau diciptakan memang tanpa telinga atau semua ekornya atau sebagiannya terputus, maka kesemuanya ini menjadikan kurbannya tidak cukup (tidak sah).
Tapi jika binatang itu tidak bertanduk atau tanduknya pecah atau dua buah pelirnya terputus, tetap dibolehkan berkurban dengan binatang tersebut. Dan dikatakan sudah cukup dan sah. Wallahu A’lam .
Maraji’: Kitab Hasyiyah Al Baijuri juz II, hal. 295-302 dan sumber lain.
Pertanyaan Seputar Qurban
Pertanyaan: Apakah boleh si pemotong qurban untuk mengambil bagian kaki dan kepala qurban itu ?
Jawaban: Yang dimaksud si pemotong qurban dalam hal ini tentu adalah orang yang diwakilkan untuk memotong atau menyembelihnya bukan pemilik qurban itu sendiri. Jika si pemotong diberikan kaki dan kepala atau kulit sebagai upah pemotongan, maka hukumnya tidak boleh. Karena dengan demikian berarti bagian itu dijual. Sedang orang yang menjual bagian qurbannya maka tidak ada udhiyah / qurban baginya, atau dengan kata lain tidak sah qurbannya.
Adapun memberikan si pemotong kepala dan kaki atau kulit tadi sebagai shadaqah atau hadiah yang tidak dikaitkan dengan pemotongan, sedang upahnya dibayar tersendiri dan ditanggung yang berqurban, maka boleh dan tidak ada larangan padanya.
Dalam kitab Busyral Karim (II/128) disebutkan, "Tidak boleh menjual sedikitpun bagian dari qurban dan tidak boleh memberikan si pemotong bagian qurban sebagai upahnya walaupun kulit. Tetapi ongkos atau upah pemotongan itu ditanggung oleh orang yang berqurban".
Oleh karena itu sebaiknya bagi panitia Qurban, selain menerima qurban juga memberitahukan bahwa orang yang berqurban harus membayar upah pemotongannya.
Pertanyaan: Bolehkah orang yang sudah menerima daging qurban kemudian menjualnya kepada orang lain?.
Jawaban: bagi orang yang berqurban, tidak boleh menjual sedikitpun bagian dari qurbannya. Adapun orang yang menerima qurban, jika dia adalah faqir miskin maka setelah qurban itu berada di tangannya jadilah itu haknya seperti daging biasa. Oleh karenanya boleh orang yang faqir atau miskin tadi menjualnya, tetapi harus dijual kepada orang islam.
Adapun orang kaya, jika mereka dikirimi atau diberikan qurban, maka dia hanya boleh mempergunakan daging tadi sebagai makanan atau jamuan atau disedekahkan kepada orang lain. Tidak boleh dia menjualnya. (Busyral Karim II/128)
Pertanyaan: Yang diharamkan untuk makan daging qurban/aqiqah yang wajib atau nadzar, apakah khusus bagi orang yang qurban/aqiqah saja, ataukah juga keluarganya yang masih wajib dinafkahi?
Jawaban: Yang diharamkan adalah orang yang qurban/aqiqah wajib atau nadzar dan juga orang yang wajib dinafkahinya, termasuk anak dan isterinya. Referensi: Al Baajuri II/300
Pertanyaan : daging qurban wajib setelah diterima oleh yang berhak kemudian diberikan kembali kepada orang yang qurban, apakah orang yang qurban tidak boleh memakan daging tersebut?
Jawaban: Boleh, karena daging itu sudah dimiliki oleh orang yang berhak tadi, dan setelah dimilikinya maka dia berhak menggunakan daging itu untuk apapun. Jadi jika diberikan lagi kepada orang yang berkurban maka boleh-boleh saja dan boleh memakannya, karena sekarang daging itu sudah tidak menjadi daging kurban lagi, tetapi menjadi daging hibbah atau shodaqah.
Referensi : Al Baajuri II/302
Pertanyaan : apakah dibolehkan memindahkan hewan qurban dari daerahnya orang yang berqurban ke daerah lain?
Jawaban: Boleh, baik hewan tersebut sudah disembelih atau belum.
Referensi: Kifaayatul Akhyar II/242, Itsmidul ‘Ainain hal.78
Pertanyaan: Bolehkan menjual tanduk dan kikil (teracak, jawa) dari hewan qurban wajib untuk ongkos orang yang mengurusinya?
Jawaban: Tidak boleh, sekalipun dari hewan qurban sunnah.
Referensi: Al Baajuri II/311, I’anatuth Thalibin II/333
Pertanyaan : Bolehkah aqiqah untuk salah seorang anak sekaligus diniati sebagai qurbannya anak tersebut?
Jawaban: kalau aqiqah dan qurbannya itu sama-sama sunnah dan kambingnya satu, dalam hal ini ada perbedaan pendapat, menurut imam Ibnu Hajar Al Haitami tidak boleh sedangkan imam Ar Romli mengatakan boleh. Begitu pula jika kambingnya dua atau lebih tapi diniati sekaligus, artinya tidak ditentukan mana yang untuk aqiqah dan mana yang untuk qurban, maka juga khilaf antara ulama seperti diatas.
Tapi kalau kambingnya dua atau lebih dan masing-masing ditentukan, mana yang untuk aqiqah dan mana yang untuk qurban maka sah/ boleh, tidak ada khilaf antara ulama.
Referensi: Al Baajuri II/304, Al Qulyubi IV/255, Itsmidul ‘Ainain hal.77
Pertanyaan: Bolehkah kulit kambing kurban dimiliki (diambil) oleh sebagian orang dari panitia kurban, yang juga mereka telah memperoleh pembagian dagingnya?
Jawaban: Boleh kulit kambing diberikan kepada mereka, dalam hal ini yang dilarang baik dalam kurban wajib atau sunnah, adalah menjual sebagian daging atau kulit kurban atau menjadikan kulit atau kikilnya sebagai upah (ongkos) bagi yang mengurusi penyembelihan.
Referensi: Al Baajuri II/302