Berbicara perjalanan panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia di Pasuruan, tak lepas dari peran penting KH. Masyhadi yang merupakan sosok pejuang sejati, dimana seluruh hidupnya digadaikan untuk jihad Fi Sabilillah. Semenjak masih muda, ia selalu menentang invasi Belanda. Di masa dewasa, ia selalu menebar bibit-bibit keimanan dan perjuangan anti penjajah, sampai akhirnya timah panas dari senapan laras panjang mengantar kematiannya, setelah beliau menjadi pengasuh pondok Besuk priode III, selama lima tahun.
Kyai Masyhadi adalah putra Kyai Muzayyin yang akrab di panggil KH. Abu Amar. Sesudah melaksanakan ibadah haji, beliau menikah dengan ibu nyai Rabi'ah al-'Adawiyah anak sulung KH. Subadar. Dari hasil perkawinannya, beliau dikaruniai 4 anak namun hanya satu yang sampai ke pelaminan.
1.Pengasuh generasi III pondok Besuk
Sepeninggal al-Maghfurlah KH. Badar, pondok Besuk menjadi vakum untuk yang ke dua kalinya, karena belum di temukan figur yang tepat untuk menggantikannya. Tak pelak, santri pulang kampung dan sesekali berkunjung ke Besuk.[1]
KH. Achmad Djufri menantu terakhir mendiang KH. Aly Murtadlo menetap di kota Pasuruan yang sangat sibuk dengan organisasi NU. Pada waktu itu NU masih dalam masa perkembangan, situasi menuntut beliau harus kosentrasi penuh mencurahkan segala daya kemampuannya untuk memajukan organisasi warga Nahdliyin tersebut. KH. Achmad Djufri dalam melaksanakan misinya itu membuka lembaga pendidikan dan pembangunan sekolah di bawah naungan NU. Demi Ikut mencerdaskan bangsa terutama sebagai kaderisasi Nahdliyiyin di masa mendatang.[2]
Beliau belum siap untuk menggantikan al-Marhum KH. Badar. Karna itu, Kyai Mas Achmad Zahid (putra KH.Aly Murtadlo) mengambil satu inisiatif pergi ke Jember, untuk menemui keponakannya; Kyai Masyhadi yang pada saat itu sedang mengasuh pondok pesantren di Rambipuji Jember. Kyai Mas Ahmad Zahid meminta beliau agar berkenan pulang ke Besuk untuk menggantikan posisi KH. Badar menjadi pengasuh dan meneruskan estafet perjuangan membangun dan mengembangkan pondok Besuk .
Setelah kyai Mas Ahmad Zahid menjelaskan realitas mutakhir pondok pada waktu itu, maka kyai Masyhadi tak sanggup menolak permintaan sang uak (pakde) yang bersimpatik dan lembut itu. Dengan penuh pengertian, akhirnya kyai Masyhadi bersedia meninggalkan Rambupiji dan menjadi pengasuh pondok pesantren Besuk, priode ke III, bersamaan dengan pendudukan tentara Jepang.[3]
2.Darah perjuangan
al-Maghfurlah K. Masyhadi sewaktu mengasuh pondok Besuk, sangat getol mengajarkan ilmu agama pada para santri dengan dibantu adik iparnya yang bernama K. Mas Aly Baqir, disamping beliau harus amar ma'ruf nahi munkar, menghilangkan kedholiman yang meraja lela oleh keankara-murkaan dan kebiadaban para penjajah.
Darah perjuangan mengalir dalam tubuhnya sejak kecil karena beliau terlahir dan dibesarkan diera imperial, yang telah menghancurkan sendi-sendi Islami bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini. Jiwa perjuangan dan cinta bumi pertiwi telah terpahat sejak usia dini. Beliau dididik oleh guru-guru yang juga pejuang-pejuang melawan penjajah. Beliau selalu belajar memahami dan mengambil kesimpulan dari kisah-kisah para pendahulunya, seperti yang pernah di lakukan oleh Kyai sekaligus tokoh pejuang besar kita; Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Ali Basa Sentot Prawirodirjo.[4]
Alkisah: Pada waktu itu sesuai dengan historikal kontaknya, umat islam membentuk basis-basis perjuangan dan kaderisasi di beberapa daerah pedesaan, untuk mengusir para penjajah. Demikian itu merupakan salah satu politik yang dipraktekkan menghadapi lawan yang intelijen dan peralatannya lebih canggih. Selain itu, juga menerapkan politik isolasi (cara pengasingan menjauhkan diri dari penjajah), juga politik non kooperatif (tidak mau kerja sama dengan penjajah).
Kyai Masyhadi aktif memimpin perjuangan bersama para tokoh pejuang PETA dan laskar Hisbullah serta Mujahidin. Belanda mencium semuanya! Besuk selalu dalam pengawasan dan boikot musuh. Siapapun yang keluar masuk pondok Besuk akan dipanggil dan ditangkap Belanda. Bahkan kadang-kadang dibunuh. Kegiatan belajar mengajar nyaris terhenti, perhatian kyai, asatidz, santri terfokus pada jihad dan menentang para agresor.[5]
Memang dalam setiap perjuangan pasti ada pengorbanan. Mungkin banyak orang yang ingin berjuang tapi tidak banyak orang yang rela berkorban, apalagi kalau tidak didukung oleh keyakinan dan jiwa yang bersih. Kisah perjuangan para pendahulu terulang kembali. Belanda dengan liciknya memperalat orang-orang pribumi yang berjiwa kerdil, berkeyaqinan yang tipis. Adalah yang gila harta, mereka tergiur oleh manisnya hidup yang sementara, mereka dihantui oleh ancaman maut, mereka hanya memikirkan kesenangan sesaat.
Seorang sahabat para pemimpin pejuang di Besuk, ternyata seorang penghianat. Dia menjadi musuh dalam selimut, dengan bebas dia keluar masuk pondok Besuk untuk memata-matai setiap langkah para pejuang dan mengambil duplikat dokumen penting yang tertera nama-nama para pejuang termasuk beberapa pemimpinnya. Dari dialah Belanda mendapatkan informasi yang sangat berharga.[6]
Di saat keluarga Besuk melakukan tasyakkuran walimatul hitan (selamatan sunat), berkat informasi si penghianat, Belanda tidak sia-siakan kelengahan para pejuang. Waktu itu berkumpul para kyai dan pemimpin perjuangan antara lain: Kyai Masyhadi, Kyai Mas Ahmad Zahid, Kyai Mas Achmad Djufri, Kyai Mas Mahfudh, Kyai Mas Aly Baqir dan para pejuang yang lain. Dalam kaadaan tidak siap dan terlalu mendadak, tentara Belanda menyerang dan mengepung Besuk. Mereka menangkap ke-empat keluarga Besuk kecuali KH.Achmad Djufri yang berhasil meloloskan diri. dan para pejuang yang lain termasuk diantaranya adalah seorang santri yang bernama Paimin:[7] Dia merupakan santri lama yang mengabdi pada pondok Besuk sampai akhir hayatnya menjadi tukang buang sampah yang belakangan dikenal dengan panggilan Wak Min. Semuanya diseret dan dijebloskan ke penjara Pleret. Mereka para pejuang yang tertangkap disiksa, dianiaya, bahkan kadang-kadang dibunuh. Akibat perlakuan Belanda yang tidak manusiawi, didalam penjara Kyai Masyhadi marah dan berhasil membunuh sedikitnya tiga tentara Belanda. Nampaknya, mereka takut untuk membunuh para pimpinan pejuang yang ada di penjara karena kedudukan mereka di Indonesia ini sudah dipantau oleh PBB, jika mereka melakukan eksekusi di penjara mereka akan terkena sanksi hukum internasional. Akhirnya pada satu kesempatan, Kyai Masyhadi, kyai Mas Ahmad Zahid, kyai Mas Mahfudh, kyai Mas Aly Baqir yang sekarat akibat siksaan Belanda dan sebagian pejuang yang lain berhasil keluar dari penjara.[8]
Dasar penjajah!, tipu muslihat mereka memang sangat keji, mereka sengaja membiarkan para pejuang itu meloloskan diri dari penjara yang tujuannya agar mereka bisa memburunya kembali dan menghabisinya di luar penjara. Pada kesempatan itu, kyai Masyhadi yang sudah dijadikan target utama, dikepung dan dibrondong dengan peluru, sehingga beliau jatuh terkulai bersimbahkan darah. (إن لله وإن إليه راجعون) gugurlah beliau sebagai suhada' luhur dan kusuma bangsa setelah mengasuh pondok Besuk selama lima tahun.
KH. Muhammad Subadar membenarkan bahwa, meski puluhan peluru berhasil menyentuh tubuhnya dan menyobek pakaiannya namun hanya satu timah panas yang mampu menembus dadanya. Tragedi itu tercatat pada bulan Rajab 1367 H/ 1947 M. [9]
Kyai Mas Mahfudh suami nyai Halimah (puteri KH. Badar) bergabung dan memimpin kembali perjuangan ini. Beliau bersama prajuritnya mencari si penghianat yang telah memberikan dokumen rahasia pada Belanda yang berakhir dengan terbunuhnya para pejuang, termasuk Kyai Masyhadi. Dalam waktu yang sangat singkat si penghianat yang tidak lain teman sendiri itu ditemukan dalam persembunyiannya di sekitar sungai Pacarkeling (daerah kecamatan Kejayan-Pasuruan). Tanpa basa basi dia langsung dipenggal.[10]
Kyai Masyhadi adalah putra Kyai Muzayyin yang akrab di panggil KH. Abu Amar. Sesudah melaksanakan ibadah haji, beliau menikah dengan ibu nyai Rabi'ah al-'Adawiyah anak sulung KH. Subadar. Dari hasil perkawinannya, beliau dikaruniai 4 anak namun hanya satu yang sampai ke pelaminan.
1.Pengasuh generasi III pondok Besuk
Sepeninggal al-Maghfurlah KH. Badar, pondok Besuk menjadi vakum untuk yang ke dua kalinya, karena belum di temukan figur yang tepat untuk menggantikannya. Tak pelak, santri pulang kampung dan sesekali berkunjung ke Besuk.[1]
KH. Achmad Djufri menantu terakhir mendiang KH. Aly Murtadlo menetap di kota Pasuruan yang sangat sibuk dengan organisasi NU. Pada waktu itu NU masih dalam masa perkembangan, situasi menuntut beliau harus kosentrasi penuh mencurahkan segala daya kemampuannya untuk memajukan organisasi warga Nahdliyin tersebut. KH. Achmad Djufri dalam melaksanakan misinya itu membuka lembaga pendidikan dan pembangunan sekolah di bawah naungan NU. Demi Ikut mencerdaskan bangsa terutama sebagai kaderisasi Nahdliyiyin di masa mendatang.[2]
Beliau belum siap untuk menggantikan al-Marhum KH. Badar. Karna itu, Kyai Mas Achmad Zahid (putra KH.Aly Murtadlo) mengambil satu inisiatif pergi ke Jember, untuk menemui keponakannya; Kyai Masyhadi yang pada saat itu sedang mengasuh pondok pesantren di Rambipuji Jember. Kyai Mas Ahmad Zahid meminta beliau agar berkenan pulang ke Besuk untuk menggantikan posisi KH. Badar menjadi pengasuh dan meneruskan estafet perjuangan membangun dan mengembangkan pondok Besuk .
Setelah kyai Mas Ahmad Zahid menjelaskan realitas mutakhir pondok pada waktu itu, maka kyai Masyhadi tak sanggup menolak permintaan sang uak (pakde) yang bersimpatik dan lembut itu. Dengan penuh pengertian, akhirnya kyai Masyhadi bersedia meninggalkan Rambupiji dan menjadi pengasuh pondok pesantren Besuk, priode ke III, bersamaan dengan pendudukan tentara Jepang.[3]
2.Darah perjuangan
al-Maghfurlah K. Masyhadi sewaktu mengasuh pondok Besuk, sangat getol mengajarkan ilmu agama pada para santri dengan dibantu adik iparnya yang bernama K. Mas Aly Baqir, disamping beliau harus amar ma'ruf nahi munkar, menghilangkan kedholiman yang meraja lela oleh keankara-murkaan dan kebiadaban para penjajah.
Darah perjuangan mengalir dalam tubuhnya sejak kecil karena beliau terlahir dan dibesarkan diera imperial, yang telah menghancurkan sendi-sendi Islami bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini. Jiwa perjuangan dan cinta bumi pertiwi telah terpahat sejak usia dini. Beliau dididik oleh guru-guru yang juga pejuang-pejuang melawan penjajah. Beliau selalu belajar memahami dan mengambil kesimpulan dari kisah-kisah para pendahulunya, seperti yang pernah di lakukan oleh Kyai sekaligus tokoh pejuang besar kita; Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Ali Basa Sentot Prawirodirjo.[4]
Alkisah: Pada waktu itu sesuai dengan historikal kontaknya, umat islam membentuk basis-basis perjuangan dan kaderisasi di beberapa daerah pedesaan, untuk mengusir para penjajah. Demikian itu merupakan salah satu politik yang dipraktekkan menghadapi lawan yang intelijen dan peralatannya lebih canggih. Selain itu, juga menerapkan politik isolasi (cara pengasingan menjauhkan diri dari penjajah), juga politik non kooperatif (tidak mau kerja sama dengan penjajah).
Kyai Masyhadi aktif memimpin perjuangan bersama para tokoh pejuang PETA dan laskar Hisbullah serta Mujahidin. Belanda mencium semuanya! Besuk selalu dalam pengawasan dan boikot musuh. Siapapun yang keluar masuk pondok Besuk akan dipanggil dan ditangkap Belanda. Bahkan kadang-kadang dibunuh. Kegiatan belajar mengajar nyaris terhenti, perhatian kyai, asatidz, santri terfokus pada jihad dan menentang para agresor.[5]
Memang dalam setiap perjuangan pasti ada pengorbanan. Mungkin banyak orang yang ingin berjuang tapi tidak banyak orang yang rela berkorban, apalagi kalau tidak didukung oleh keyakinan dan jiwa yang bersih. Kisah perjuangan para pendahulu terulang kembali. Belanda dengan liciknya memperalat orang-orang pribumi yang berjiwa kerdil, berkeyaqinan yang tipis. Adalah yang gila harta, mereka tergiur oleh manisnya hidup yang sementara, mereka dihantui oleh ancaman maut, mereka hanya memikirkan kesenangan sesaat.
Seorang sahabat para pemimpin pejuang di Besuk, ternyata seorang penghianat. Dia menjadi musuh dalam selimut, dengan bebas dia keluar masuk pondok Besuk untuk memata-matai setiap langkah para pejuang dan mengambil duplikat dokumen penting yang tertera nama-nama para pejuang termasuk beberapa pemimpinnya. Dari dialah Belanda mendapatkan informasi yang sangat berharga.[6]
Di saat keluarga Besuk melakukan tasyakkuran walimatul hitan (selamatan sunat), berkat informasi si penghianat, Belanda tidak sia-siakan kelengahan para pejuang. Waktu itu berkumpul para kyai dan pemimpin perjuangan antara lain: Kyai Masyhadi, Kyai Mas Ahmad Zahid, Kyai Mas Achmad Djufri, Kyai Mas Mahfudh, Kyai Mas Aly Baqir dan para pejuang yang lain. Dalam kaadaan tidak siap dan terlalu mendadak, tentara Belanda menyerang dan mengepung Besuk. Mereka menangkap ke-empat keluarga Besuk kecuali KH.Achmad Djufri yang berhasil meloloskan diri. dan para pejuang yang lain termasuk diantaranya adalah seorang santri yang bernama Paimin:[7] Dia merupakan santri lama yang mengabdi pada pondok Besuk sampai akhir hayatnya menjadi tukang buang sampah yang belakangan dikenal dengan panggilan Wak Min. Semuanya diseret dan dijebloskan ke penjara Pleret. Mereka para pejuang yang tertangkap disiksa, dianiaya, bahkan kadang-kadang dibunuh. Akibat perlakuan Belanda yang tidak manusiawi, didalam penjara Kyai Masyhadi marah dan berhasil membunuh sedikitnya tiga tentara Belanda. Nampaknya, mereka takut untuk membunuh para pimpinan pejuang yang ada di penjara karena kedudukan mereka di Indonesia ini sudah dipantau oleh PBB, jika mereka melakukan eksekusi di penjara mereka akan terkena sanksi hukum internasional. Akhirnya pada satu kesempatan, Kyai Masyhadi, kyai Mas Ahmad Zahid, kyai Mas Mahfudh, kyai Mas Aly Baqir yang sekarat akibat siksaan Belanda dan sebagian pejuang yang lain berhasil keluar dari penjara.[8]
Dasar penjajah!, tipu muslihat mereka memang sangat keji, mereka sengaja membiarkan para pejuang itu meloloskan diri dari penjara yang tujuannya agar mereka bisa memburunya kembali dan menghabisinya di luar penjara. Pada kesempatan itu, kyai Masyhadi yang sudah dijadikan target utama, dikepung dan dibrondong dengan peluru, sehingga beliau jatuh terkulai bersimbahkan darah. (إن لله وإن إليه راجعون) gugurlah beliau sebagai suhada' luhur dan kusuma bangsa setelah mengasuh pondok Besuk selama lima tahun.
KH. Muhammad Subadar membenarkan bahwa, meski puluhan peluru berhasil menyentuh tubuhnya dan menyobek pakaiannya namun hanya satu timah panas yang mampu menembus dadanya. Tragedi itu tercatat pada bulan Rajab 1367 H/ 1947 M. [9]
Kyai Mas Mahfudh suami nyai Halimah (puteri KH. Badar) bergabung dan memimpin kembali perjuangan ini. Beliau bersama prajuritnya mencari si penghianat yang telah memberikan dokumen rahasia pada Belanda yang berakhir dengan terbunuhnya para pejuang, termasuk Kyai Masyhadi. Dalam waktu yang sangat singkat si penghianat yang tidak lain teman sendiri itu ditemukan dalam persembunyiannya di sekitar sungai Pacarkeling (daerah kecamatan Kejayan-Pasuruan). Tanpa basa basi dia langsung dipenggal.[10]