Sesungguh Islam menempatkan wanita pada posisi yg tinggi dan sejajar dengan pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda karena pria dan wanita hakikat adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yg menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah? Simak penjelasannya!
Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita dari semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia” diinjak-injak kehormatan dan harga diri kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yang semesti dijaga dihargai dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hambaNya.
Penjelasan ringkas akan hak-hak wanita menurut Islam di bawah ini sedikit akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita sejak mereka dilahirkan ke muka bumi dibesarkan di tengah keluarga sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.
1. Pada Masa Kanak-kanak
Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khusus kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia utk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaga dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran dalam sabdaNya:
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ (1
“Siapa yg memelihara dua anak perempuan hingga kedua mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibagi untuk kedua putrinya sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. tidak berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup bagi dari api neraka.”
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dengan ujian karena manusia biasa tidak menyukai anak perempuan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang2 jahiliah:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan menjadi merah padamlah wajah dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruk berita yang disampaikan kepadanya. apakah ia akan memelihara dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkan hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruk apa yg mereka tetapkan itu.”
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka.
Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuan memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.
2. Dalam masalah pernikahan
Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidup dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabat bila tidak menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah bagaimanakah izin seorang gadis?” “Izin adalah dengan ia diam” jawab Rasulullah.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا
“Wahai Rasulullah sesungguh seorang gadis itu malu .” Beliau menjelaskan “Tanda ridhanya gadis itu adl diamnya.”
Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir beliau membatalkan pernikahannya.
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahihnya: Bab Apabila seseorang menikahkan putri sementara putri tidak suka maka pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir wali akan menikahkan secara paksa. maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar ‘Abdurrahman dan Majma’ keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata “Janganlah kalian khawatir karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayah dalam keadaan ia tidak suka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.”
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ
“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengadu ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’ ujarnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya. Si wanita berkata ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”
Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu bila demikian keadaan sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan tenang dan tenteram?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izin sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita tidak suka maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini bila si wanita masih kecil karena boleh bagi ayah menikahkan gadis kecil tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah berstatus janda dan sudah baligh maka tdk boleh menikahkan tanpa izin sama saja baik yang menikahkan itu ayah atau yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan apakah izin itu wajib hukum atau mustahab . Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengsn si wanita dan hendak si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.”
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nanti adalah hak si wanita tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Berikanlah mahar kepada para wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar tersebut maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.”
Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata: “Ayat ini menunjukkan wajib pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-laki dengan budak wanita maka tidak wajib ada mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap. ”
3. Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan wanita semasa kecil ketika remaja dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini dalam TanzilNya setelah mewajibkan ibadah hanya kepadaNya:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Tuhanmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepadaNya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari kedua atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada kedua perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang ucapkanlah doa “Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibu telah mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapih adalah tigapuluh bulan”
Ketika shahabat yg mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ..
“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” ‘Abdullah lagi bertanya lagi. Kata beliau “Kemudian birrul walidain .”
Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu -seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya- “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai Rasulullah siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab “Ibumu.” “Kemudian siapa?” orang itu bertanya lagi. “Ibumu” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” orang itu bertanya lagi. “Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah.
Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung melahirkan dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu.
Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibu sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ..
“Sesungguh Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu”
Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan kasih sayang dan semisal lebih didahulukan daripada kepada ayah.”
Bahkan seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalin perjanjian antara Quraisy dgn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab “Ya sambunglah hubungan dengan ibumu.”
4. Sebagai Istri
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang suami agar bergaul dgn istri dengan cara yang baik.
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yg baik.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata “Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu sepantasnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf menemani dan menyertai dengan baik, menahan gangguan terhadapnya, mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah pakaian dan semisalnya.
Dan tentu pemenuhan berbeda-beda sesuai dgn perbedaan keadaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:
لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang mengadu “Wahai Rasulullah para istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.”
Beliau juga pernah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlak di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”
Banyak hak yang diberikan Islam kepada istri seperti suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istri ia berhak memperoleh nafkah pengajaran penjagaan dan perlindungan yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis dan yang berjuang untuk persamaan gender yang katanya memperjuangkan hak wanita padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan terpuruk dan terinjak-injak?
Wallahul musta’an.
Keterangan Hadits:
1) Maknanya:
جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ
2) Kemungkinan terbesar Ja’far yang dimaksud adalah Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu.